Yes/No Testing dalam Menentukan Force Majeur

Yes/No Testing dalam Menentukan Force Majeur

Para akademisi dan praktisi mungkin berbeda pandangan untuk menentukan apakah pandemi Covid-19 merupakan force majeur. Perlu ada pedoman untuk mengujinya.
Yes/No Testing dalam Menentukan Force Majeur

Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2020 mengenai darurat kesehatan masyarakat, disusul Keppres No. 12 Tahun 2020 mengenai penetapan status bencana nasional nonalam akibat penyebaran pandemi Corona Virus Disease Tahun 2019 (Covid-19). Penetapan status bencana nasional diikuti oleh pembatasan-pembatasan lalu lintas warga negara, baik dalam perjalanan dari suatu daerah ke daerah lain maupun pembatasan aktivitas bisnis. Akibatnya, banyak perusahaan tutup atau mengalami gangguan keuangan, dan membawa konsekuensi pada pengurangan karyawan baik dalam bentuk merumahkan maupun pemutusan hubungan kerja (PHK). 

Survei Badan Pusat Statistik terhadap 34.559 responden pada 10-26 Juli 2020 menunjukkan bahwa 8,76 perusahaan berhenti beroperasi; 5,45 persen beroperasi dengan penerapan work from home (WFH) untuk sebagian karyawan; dan 2,05 persen menerapkan WFH untuk seluruh karyawan. Sebagian besar (58,95 persen) perusahaan masih beroperasi. Secara umum, 6 dari 10 perusahaan masih beroperasi. Tiga sektor usaha paling terdampak adalah akomodasi dan makan minum; jasa lainnya; serta transportasi dan pergudangan. 

Survei yang dilakukan BPS sebenarnya masih memperlihatkan optimisme. Bayangkan, 8 dari 10 perusahaan di sektor pengadaan air dan pengelolaan sampah; pengadaan listrik dan gas; serta jasa pendidikan optimis bahwa mereka akan pulih dalam waktu maksimal enam bulan setelah pelaksanaan survei. Namun dua setengah bulan berlalu pasca survei, belum ada tanda-tanda penyebaran Covid-19 berhenti. Tidak ada satu pun yang dapat memprediksi secara pasti kapan pandemi ini berakhir.

Kalangan usaha yang selama ini terikat kontrak dengan pihak lain, mau tidak mau, harus mempersiapkan banyak hal. Apalagi jika isi kontrak berupa pemenuhan kewajiban yang jatuh tempo pada masa pagebluk ini. Hubungan kontraktual pasti melahirkan perikatan, dalam arti ada kewajiban kontraktual yang mengikat para pihak yang membuatnya. Begitulah titah dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (pacta sunt servanda). Ini juga dikuatkan lewat putusan Mahkamah Agung No. 568 K/Sip/1983 tanggal 12 September 1983 yang menegaskan perjanjian mengikat kedua belah pihak sebagai undang-undang. 

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional