Mahar dalam Perkawinan, Wajib atau Tidak?

Mahar dalam Perkawinan, Wajib atau Tidak?

Sebuah catatan tentang mahar dalam perkawinan menurut hukum Islam. Mahar bukan rukun perkawinan.
Mahar dalam Perkawinan, Wajib atau Tidak?

Ada banyak aspek dalam perkawinan yang penting dilihat dari sisi hukum. Salah satu yang masih sering menimbulkan perdebatan adalah mahar. Bukan semata mengenai besarnya nilai mahar, tetapi juga hal-hal mendasar. Misalnya, bagaimana kedudukan mahar perkawinan baik dalam hukum Islam dan hukum negara? Bisakah suatu pernikahan dilakukan tanpa adanya mahar? Bagaimana hukumnya jika mahar dibayar utang? Bisakah? Kalaupun bisa, kapan jatuh temponya suatu utang mahar? Sebelum jauh masuk ke pembahasan soal hukum mahar dalam fiqh kontemporer, ada baiknya pembaca memahami definisi dan filosofi keberadaan mahar terlebih dahulu.

Bagi pasangan yang ingin melakukan perkawinan secara Islam berlaku kepada mereka Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 1 huruf (d) KHI merumuskan mahar sebagai pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Ketentuan lebih lanjut soal mahar, dibahas dalam Bab V KHI. Di situ disebutkan bahwa hukum mahar wajib dibayar oleh calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita (lihat Pasal 30). Mengenai jumlah, bentuk dan jenisnya diberikan kebebasan kepada para pihak untuk menyepakatinya.

Dalam Islam, sebagaimana diuraikan Ahmad Rofiq dalam bukunya “Hukum Perdata Islam Indonesia”, kata ‘mahar’ disebut dalam Al-Qur’an menggunakan istilah lain, yakni shaduqah (QS. An-Nisa ayat 4) dan ujrah (QS An-Nisa ayat 25). 

Istilah ‘mahar’ ditemukan dalam hadist ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Abu Daud dan Ibnu Majah. Dalam hadist itu, Rasulullah pernah bersabda, bahwa bila seorang suami telah ‘menggauli’ istrinya, maka di situlah seorang istri berhak menerima mahar. Rasulullah Saw bersabda: “Apabila seorang perempuan menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, apabila si suami telah menggaulinya, maka bagi dia berhak menerima mahar sekadar menghalalkan farjinya. Apabila walinya enggan (menikahkan) maka wali hakim (pemerintah) yang menjadi wali bagi perempuan yang (dianggap) tidak memiliki wali”, [HR. Tirmizi, Abu Daud, Ibnu Majah].

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional