Kasus Pinangki dan Perspektif Gender dalam Putusan Pidana

Kasus Pinangki dan Perspektif Gender dalam Putusan Pidana

​​​​​​​Pertimbangan meringankan terkait status gender masih belum merata, ada hakim yang menjadikan pertimbangan itu “menyunat” putusan, namun ada putusan yang tidak mempertimbangkan status terdakwa sebagai perempuan.
Kasus Pinangki dan Perspektif Gender dalam Putusan Pidana
Pinangki Sirna Malasari saat menjalani sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES

Keputusan Kejaksaan Agung untuk tidak mengajukan kasasi pada perkara Pinangki Sirna Malasari (Pinangki) memang cukup “ajaib”. Seperti diketahui Pinangki merupakan jaksa fungsional pada Kejaksaan Agung RI yang diputus bersalah karena melakukan tiga tindak pidana korupsi mulai dari menerima uang suap, pencucian uang hingga pemufakatan jahat berkaitan dengan rencana fatwa Mahkamah Agung (MA) untuk Peninjauan Kembali (PK) perkara Joko Soegiarto Tjandra.

Pada tingkat pertama, majelis hakim memutus Pinangki bersalah dan dijatuhi hukuman pidana selama 10 tahun denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan. Setelah itu Pengadilan Tinggi DKI Jakarta putusan Nomor 10/PID.SUS-TPK/2021/PT DKI memberikan diskon besar-besaran dengan menghukumnya dengan pidana penjara selama 4 tahun dengan jumlah denda dan subsidair yang sama. Putusan ini diketok oleh Muhammad Yusuf selaku hakim ketua, Haryono, Singgih Budi Prakoso, Lafat Akbar dan Reny Halida Ilham Malik sebagai anggota.

Pertimbangan majelis atas perkara ini juga cukup menarik, karena hakim tinggi melihat sisi lain Pinangki yang merupakan seorang perempuan yang harus dilindungi serta juga sebagai ibu dari anak yang masih kecil. Pro kontra pun bermunculan, ada yang mendukung pertimbangan tersebut namun juga ada yang mempertanyakan karena apa yang dilakukan Pinangki sangat bertolak belakang dengan tugasnya sebagai penegak hukum, selain itu ia juga aktif berkomunikasi dengan Joko Tjandra dan Anita Kolopaking untuk menyusun Action Plan.

Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum (PBH), Pasal 2 menyebutkan hakim mengadili perkara perempuan berdasarkan asas; penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diskriminasi, kesetaraan gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional