Konsistensi Pengadilan tentang Kaidah Kesalahan Korban Tidak Menghapus Kesalahan Terdakwa

Konsistensi Pengadilan tentang Kaidah Kesalahan Korban Tidak Menghapus Kesalahan Terdakwa

Dalam kasus-kasus kecelakaan lalu lintas, yurisprudensi tentang kesalahan korban tidak menghapus kesalahan terdakwa acapkali dipakai. Tetapi bukan berarti terdakwa tidak bisa lolos dari hukuman. Ada pelajaran advokasi yang dapat dipetik.
Konsistensi Pengadilan tentang Kaidah Kesalahan Korban Tidak Menghapus Kesalahan Terdakwa
Sumber: Shutterstock

Hukum melindungi seorang korban dalam susatu perbuatan pidana. Seorang korban berhak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta benda. Apabila korban meninggal dunia dalam suatu peristiwa pidana, maka kepentingannya dapat diperjuangkan oleh keluarga atau ahli warisnya. Pentingnya perlindungan terhadap korban dapat dirujuk ke sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia, antara lain UU No. 31 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (sebagaimana diubah dengan UU No. 31 Tahun 2014), UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; dan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Pertanyaan yang paling mendasar, siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan korban? Secara leksikal korban adalah orang atau hewan yang menderita akibat suatu kejadian, perbuatan jahat, dan sebagainya. Istilah korban bisa juga bermakna lain: pemberian untuk menyatakan ketundukan. Dalam tulisan ini, istilah yang pertamalah yang dipakai, yang dipahami awam sebagai pihak yang mengalami kerugian dalam suatu peristiwa. Dengan status sebagai pihak yang dirugikan, maka korban berhak meminta kerugian dari pelaku tindak pidana.

Rumus sederhana itulah yang dipakai oleh 17 orang warga Jabodetabek yang mengklaim sebagai ‘korban’ korupsi bantuan sosial. Mereka meminta Pengadilan Tipikor menggabungkan permintaan ganti rugi itu dengan sidang perkara mantan Menteri Sosial Jualiari Batubara. Para korban merujuk pada ketentuan Pasal 98-101 KUHAP: “Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu”.

Permohonan penggabungan itu ditolak hakim, dan ke-17 warga mengajukan kasasi. Terlepas dari isi putusannya, pemaknaan 17 warga sebagai korban korupsi memperlihatkan kontekstualisasi siapa yang disebut korban. Makna ‘korban’ memang bisa bersifat kontekstual. Misalnya, dalam UU No. 23 Tahun 2004, korban didefinisikan sebagai orang yang mengalami kekerasan dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga, sehingga koonteksnya hanya dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga. Dalam UU No. 31 Tahun 2014, korban diartikan lebih luas, yakni orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional