Pada tahun 2000, Ikatan Hakim Indonesia menerbitkan sebuah buku kompilasi abstrak hukum putusan Mahkamah Agung tentang hukum pidana yang ditulis oleh Ali Boediarto. Salah satu putusan yang ditampilkan adalah perbuatan menghabisi nyawa tukang santet.
Catatan atas putusan ini sangat menarik: adalah tidak cukup bilamana jaksa hanya menyebutkan pasal-pasal ketentuan hukum pidana yang didakwakan saja tanpa memberikan uraian yang jelas dan terang, serta merumuskan perbuatan materiil yang dilakukan terdakwa. Jika hanya disebutkan saja pasalnya, tanpa menguraikan perbuatan materiilnya, terdakwa harus dibebaskan.
Dua puluh tahun setelah putusan No. 2296 K/Pid/1989 itu diterbitkan, pengadilan Indonesia masih saja menerima perkara-perkara yang berhubungan dengan tuduhan santet. Jenis perbuatan pidananya beragam, tetapi pemantiknya adalah tuduhan santet. Artinya, seseorang telah dituduh memiliki ilmu santet dan menggunakannya untuk mencelakakan orang lain.
Orang yang dituduh memiliki ilmu santet –atau dengan nama lain yang sejenis—itulah yang kemudian menjadi korban tindak pidana. Jika ditelusuri menggunakan kata ‘santet’ pada Direktori Putusan Mahkamah Agung tahun 2020 akan muncul 127 perkara yang masuk di 91 pengadilan di Indonesia. Sebanyak 70 perkara dikualifikasi sebagai tindak pidana umum; 6 perkara pembunuhan, dan 11 perkara penganiayaan. Memang, tidak semua perkara pencarian demikian merupakan perkara yang bermuara pada santet, tetapi sebagian besar berkaitan dengan santet.