Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah memiliki rumusan sistem pembuktian. Rumusan sistem pembuktian ini untuk mendukung tujuan dari hukum acara pidana yakni untuk mencari dan memperoleh kebenaran materiil. Dalam implementasi rumusan sistem pembuktian ini, pada dasarnya berpedoman pada asas-asas seperti, asas praduga tak bersalah, asas persamaan di hadapan hukum, serta asas pemeriksaan akusator.
Darwan Prinst dalam buku Hukum Acara Pidana dalam Praktik (1998) menyebutkan bahwa tersangka atau terdakwa sebagai subjek dalam pemeriksaan memiliki kebebasan untuk melakukan pembelaan diri terhadap tuduhan atau dakwaan yang ditujukan kepada dirinya. Kemudian, Yahya Harahap dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (2003) menjelaskan bahwa terdakwa sebagai subjek pemeriksaan tidak dibebankan kewajiban pembuktian.
Hari Sasangka dan Lily Rosita dalam buku Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi (2003) memaparkan empat macam sistem pembuktian yang telah dikenal secara teori. Pertama, conviction in time, di mana sistem ini berpedoman kepada keyakinan hakim an sich dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidaknya kesalahan yang didakwa kepada terdakwa.
Kedua, conviction in raisonee, adalah sistem pembuktian yang berpedoman pada keyakinan hakim dalam memberikan putusan tentang terbukti atau tidaknya kesalahan terdakwa yang mana keyakinan hakim di sini harus didasarkan pada alasan-alasan yang logis. Hal ini yang membedakan dengan sistem di atas.