September 2020 lalu, persoalan gadai saham perusahaan non-tbk pernah dibahas dalam edisi Premium Stories berjudul ‘Problematika Gadai: Kepastian Jaminan Gadai Perusahan Non-Tbk’. Dari berbagai sisi pun, eksekusi gadai PT non-Tbk memang menyisakan banyak persoalan kepastian dan risiko hukum lain, mengingat tak ada jaminan perusahaan tersebut memiliki pencatatan saham yang baik.
Kini Penulis juga tertarik untuk mendiskusikan kompleksitas persoalan gadai secara umum dengan pembaca, tak sebatas gadai PT Non-Tbk. Salah satu persoalan yang menarik yang mungkin pernah pembaca dengar atau temui di lapangan adalah soal, ‘bagaimana jika pemberi gadai menghilang? Bagaimana kelanjutan proses eksekusinya?’
Namun sebelum itu, mari kita samakan persepsi awal soal definisi dan kerangka dasar gadai berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia. Pasal 1150 KUHPerdata mendefinisikan Gadai sebagai suatu ‘hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh debitur, atau oleh kuasanya, sebagai jaminan atas utangnya, dan yang memberi wewenang kepada kreditur untuk mengambil pelunasan piutangnya dari barang tersebut secara didahulukan dari kreditur-kreditur lain; dengan pengecualian biaya penjualan sebagai pelaksanaan putusan atas tuntutan mengenai pemilikan atau penguasaan, dan biaya penyelamatan barang itu, yang dikeluarkan setelah barang itu sebagai gadai dan yang harus didahulukan’.
Lahirnya gadai sendiri adalah sebagai wayout untuk mengatasi kesulitan masyarakat yang butuh pinjaman dana tanpa harus kehilangan barang-barang berharganya, yakni dengan menjaminkan barang berharga itu. Barang itu kemudian dapat ditebus kembali ketika sejumlah uang telah diserahkan pada penerima gadai untuk melunasi utangnya. Lantas barang-barang seperti apa saja yang dapat dijadikan objek gadai?