“Jika kata-kata dalam suatu persetujuan sudah jelas, tidak lagi diperkenankan menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran” (indeen de bewordingen eener overeenkomst duidelijk ziujn, mag men daarvan uitlleging niet afwiken), begitulah aturan tertulis dalam Pasal 1342 KUHPerdata.
Muatan Pasal a quo dikenal juga dengan asas Sens Clair, dimana suatu kontrak tidak diperbolehkan untuk ditafsirkan menyimpang dari perjanjian manakala bunyi atau kata-kata dalam perjanjian tersebut sudah cukup jelas. Bambang Sutiyoso dalam Penafsiran Kontrak Menurut KUHPerdata dan Maknanya bagi Para Pihak yang Bersangkutan mengkategorikan Pasal 1342 KUHPerdata ini dalam metode penafsiran objektif yang lebih menekankan pada ‘apa yang tertulis’ dalam suatu kontrak ketimbang ‘maksud’ dari para pihak ketika merumuskan klausula kontrak, utamanya jika bahasa yang digunakan dalam kontrak sudah cukup jelas.
Pertanyaan yang muncul dibenak Penulis, apa parameter bahasa suatu kontrak sudah bisa dikatakan jelas sehingga tak lagi diperbolehkan untuk ditafsirkan? Kemudian apa pula batasan suatu penafsiran atas kontrak dikatakan menyimpangi kontrak tersebut? Terlebih dalam hukum, satu kata, frasa atau kalimat bisa berarti banyak makna, satu makna bisa saja dipahami berbeda dalam implementasinya.
Pertanyaan lanjutan, bagaimana jika kalimat kewajiban sudah sangat jelas dalam kontrak, namun secara dimensi keadilan menghendaki adanya perubahan atas kewajiban itu? Tentunya sesuai pertimbangan kondisi terkini (misalnya ketika covid) yang jauh berbeda dengan kondisi normal saat kontrak dibuat, apa yang harus dilakukan? Tulisan Premium Stories kali ini akan mencoba menyelami penerapan dari Pasal 1342 serta bagaimana dialektikanya dalam praktik.