Sejumlah dokter terus memperjuangkan kehadiran peradilan khusus medis atau peradilan medik. Mekanisme yang ada selama ini dianggap kurang memberikan perlindungan kepada dokter. Ada kemungkinkan kesalahan pemahaman tentang penegakan etika, disiplin, dan hukum. Secara yuridis peluang pembentukannya ada, tetapi masih dipertanyakan apakah peradilan ini hanya untuk dokter atau mencakup juga tenaga kesehatan.
Gagasan menghidupkan kembali wacana peradilan medis bergema dalam diskusi yang dihadiri puluhan dokter, khususnya yang tergabung dalam Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia, dan advokat, pada Rabu malam (9/11/2022). Dalam kata sambutannya, Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) Mahesa Paranadipa, mengatakan selama ini ada perbedaan proses hukum terhadap profesi dokter dan advokat.
Dalam diskusi daring yang berlangsung selama dua jam itu, gagasan untuk membentuk peradilan medis memang bergaung dengan keras. Bahkan muncul kritik keras terhadap rumusan peraturan perundang-undangan, terutama perumusan kejahatan yang ditujukan kepada dokter.
Contoh paling nyata adalah konsep awal mengenai ancaman pidana bagi dokter dan dokter gigi yang tidak memiliki Surat Tanda Registrasi dalam RUU KUHP. Padahal ancaman pidana sejenis dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) sudah pernah dinyatakan Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945. Belakangan, setelah menyadari kekeliruan itu, penyusun RUU KUHP sepakat menghilangkan ancaman pidana terhadap dokter dan dokter gigi tersebut.