Isu Keadilan dalam Kasus Kedaluwarsa Tuntutan Pesangon

Isu Keadilan dalam Kasus Kedaluwarsa Tuntutan Pesangon

Hakim-hakim diminta mempertimbangkan rasa keadilan ketika memutus tuntutan pesangon. Diskursus mengenai kedaluwarsa tuntutan pekerja masih muncul dalam sengketa hubungan industrial.
Isu Keadilan dalam Kasus Kedaluwarsa Tuntutan Pesangon

Tiga kali majelis hakim beranggotakan Yulis, Horadin Saragih, dan Arsyad menyebut kata ‘keadilan’ dalam putusan Mahkamah Agung No. 124 PK/Pdt.Sus-PHI/2015. Pertama, keadilan dipergunakan hakim untuk menghitung lamanya masa kerja para penggugat bekerja di tempat tergugat. Keadilan dipakai hakim karena para penggugat telah lama dirumahkan oleh tergugat. Kedua, kata ‘keadilan’ dipakai majelis hakim untuk menolak tuntutan upah selama proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Kali ketiga disebut, kata ‘keadilan’ dipergunakan untuk alasan efisiensi proses berperkara.

Setiap hakim yang memutus perkara di pengadilan pasti selalu berhadapan dengan isu keadilan. Secara filosofis, kewajiban hakim mendasarkan putusannya pada keadilan tergambar lewat irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Secara normatif, kewajiban itu juga tertuang dalam peraturan perundang-undangan. Simak misalnya dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyebutkan hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Demikian pula halnya dalam konteks sengketa perburuhan. Pasal 100 Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tegas menyebutkan majelis hakim mempertimbangkan hukum, perjanjian yang ada, kebiasaan, dan keadilan ketika memutus sengketa hubungan industrial. Betapa pentingnya keadilan dalam suatu putusan, Mahkamah Agung secara khusus memberikan kebebasan kepada majelis hakim yang menyidangkan perkara sengketa hubungan industrial untuk mempertimbangkan keadilan dalam hal ada isu kedaluwarsa tuntutan pesangon oleh pekerja. Sikap Mahkamah Agung itu dapat dibaca dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2014 tentang Pemberlakuan Rumusan Hukum Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2013 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Pengadilan.

Kebijakan Mahkamah Agung ini diterbitkan sebagai respons atas putusan Mahkamah Konstitusi No. 100/PUU-X/2012. Pada 19 September 2013, Mahkamah Konstitusi (MK) dengan suara 8 berbanding 1 memutuskan untuk menyatakan Pasal 96 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945, dan menyatakan pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional