Sudah menjadi rahasia umum, praktik nominee (pinjam nama orang lain) atas kepemilikan tanah hingga penanaman modal masih banyak dilakukan, kendati secara aturan sebetulnya tidak sah dan melanggar hukum. Pasal 33 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal tegas mengatur bahwa kepemilikan saham Perseroan Terbatas (PT) untuk dan atas nama orang lain dinyatakan batal demi hukum.
Dari segi kepemilikan saham pun Pasal 48 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) juga mengatur larangan praktik pengeluaran saham PT atas nama pemilik yang bukan pemilik aslinya dengan ancaman perbuatan tersebut dianggap batal demi hukum. Begitu pula dari aspek kepemilikan tanah dalam kaitannya dengan Warga Negara Asing (WNA).
Seperti diketahui, Pasal 21 (1) jo Pasal 26 (2) UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) melarang WNA memiliki tanah dengan status Hak Milik di Indonesia. Hal ini sebagai konsekuensi dianutnya asas larangan pengasingan tanah di Indonesia (gronds verponding verbood). WNA hanya dapat memperoleh Hak Pakai dan Hak Sewa untuk bangunan (lihat Pasal 41 jo. Pasal 42 UUPA). Untuk mengakali ketentuan itu, diketahui banyak WNA yang tetap ingin memiliki tanah dengan status Hak Milik menggunakan instrument nominee, seperti marak disebut terjadi di Bali.
Motif lainnya, untuk mengakali batas kepemilikan luas tanah, maka dilakukanlah pinjam nama untuk pembelian properti, sehingga tak melanggar batas luas kepemilikan tanah itu. Ada juga praktik nominee pengalihan saham yang terjadi di sekitaran Jakarta, spesifiknya Notaris Dewi Tenty menyebut adanya praktik di mana notaris membantu pemindahan saham dari WNI ke WNA tanpa mengubah status badan hukumnya menjadi PT Penanaman Modal Asing (PT PMA).