Diharapkan mampu menjadi pengawal demokrasi, Mahkamah Konstitusi (MK) justru dinilai terjebak dalam pusaran pelaksanaan autocratic legalism lewat Putusan No. 90/PUU-XXI/2023 yang meloloskan putra presiden dalam gelaran Pemilu Presiden tahun 2024. Untungnya, MK memiliki pola pemeriksaan perkara yang terbuka, sehingga dissenting opinion dari para hakim ketika itu bisa dibaca gamblang oleh publik dan bahkan dibacakan langsung di hadapan pengunjung sidang yang juga disiarkan di berbagai saluran siaran televisi.
Publik kembali dihadapkan pada de ja vu abusive judicial review via uji materi yang diajukan Ketum Partai Garuda ke Mahkamah Agung (MA). Abusive JR dilaksanakan sedemikian rupa dan dijadikan senjata untuk melemahkan sendi-sendi demokrasi. Hasilnya, MA dalam Putusan No. 23 P/HUM/2024 mengabulkan dan mengubah Pasal 4 ayat 1 huruf d Peraturan KPU No. 9 Tahun 2020 Perubahan Keempat atas Peraturan KPU No. 3 Tahun 2017 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
Alhasil Peraturan KPU yang tadinya membatasi usia 30 tahun calon gubernur dan wakil gubernur adalah terhitung sejak pendaftaran peserta pemilu sebagai pasangan calon, berubah menjadi terhitung sejak pelantikan.
Ada banyak sekali kritik konstruktif yang muncul dari pergolakan hukum tersebut. Putusan-putusan semacam ini, yang mempreteli fungsi lembaga pengawas, mengutak-atik hukum demi kepentingan via lembaga peradilan inilah yang menjadi faktor terjadinya democracy backsliding dan jelas menampilkan fenomena autocratic legalism.