Tanah seluas 3.800 meter persegi di Desa Kerobokan, Kuta Bali itu awalnya merupakan hak milik seorang warga Jakarta. Belakangan, tanah tersebut menjadi pangkal sengketa antara satu perseroan dengan Kepala Kantor Pertanahan (Kantah) Badung. Perusahaan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara meminta agar dua Sertifikat Hak Tanggungan di atas tanah tersebut dibatalkan. Dalam prosesnya, sebuah bank swasta ikut mengajukan intervensi agar dimasukkan sebagai pihak.
Ringkasnya, perusahaan memiliki utang kredit ke bank dan belum dilunasi. Lalu, Kantah Badung menerbitkan dua Sertifikat Hak Tanggungan atas nama di atas tanah tersebut, masing-masing diterbitkan pada 1999 dan 2001. Warga Jakarta tadi, yang menjadi direktur utama di sebuah perseroan, keberatan atas terbitnya kedua sertifikat, karena tanah dimaksud tercatat sebagai hak milik pribadinya. Itu sebabnya, ia menggugat ke PTUN dan meminta kedua sertifikat batal dan tidak sah.
Upaya perseroan dan sang pengusaha gagal ketika Mahkamah Agung menolak permohonan kasasinya. Majelis hakim yang kala itu dipimpin Paulus Effendi Lotulung berpendapat putusan hakim tingkat banding tidak salah menerapkan hukum. Pertimbangannya, Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dibuat pada Juni 2000 sudah jatuh tempo, sehingga diganti dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan baru, dibuat Februari 2001. Penerbitan surat kuasa tadi diikuti pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan pada Maret 2001. Majelis kasasi berpendapat penerbitan surat kuasa diikuti Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT).
Dasar hukum yang dirujuk majelis hakim dalam Putusan Mahkamah Agung No. 127 K/TUN/2004 itu selengkapnya berbunyi: “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan”.