SEMINAR HUKUMONLINE 2010

Hak Restitusi PPN: Mengikis Penyelewengan, Meningkatkan Kepatuhan

Bagaimana jika yang mengajukan permohonan restitusi adalah WP Badan yang mempunyai itikad baik?

Project

Bacaan 2 Menit

Seminar Restitusi PPN. Foto : Sgp.

 

Pengembalian kelebihan pembayaran pajak terjadi apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang.  Pengembalian kelebihan pembayaran pajak ini lebih di kenal dengan ‘Restitusi Pajak’. Restitusi merupakan hak Wajib Pajak (WP). Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) wajib mengembalikan kelebihan itu kepada WP bersangkutan. Pada umumnya restitusi pajak dapat terjadi pada dua hal, yaitu pada pajak penghasilan (PPh) dan pada pajak pertambahan nilai (PPN).

 

Dalam PPN, restitusi timbul pada saat WP membeli barang dan/atau jasa. Ketika membeli suatu barang dan/atau jasa, WP akan dipungut pajak yang dikenal dengan pajak masukan. Bagi perusahaan yang menjual, yang memungut tersebut namanya pajak keluaran. Jika pajak masukan lebih besar dari pajak keluaran, maka akan terjadi restitusi. Atas kelebihan Pajak Masukan tersebutlah, maka WP dapat mengajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku. Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran PPN diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak yang telah di sahkan pada 31 Maret 2010 lalu.

 

Dalam meningkatkan kinerja ekspor, pemerintah memberikan kebijakan tarif PPN 0 persen. Di masa lalu –banyak kejadian- bahwa restitusi pajak menjadi modus yang kerap dipergunakan oleh WP Badan untuk membobol kas negara. Pola yang dilakukan bermacam-macam dari mulai meninggikan nilai pajak masukan, membeli faktur-faktur pajak keluaran eks perusahaan lain yang tidak terpakai, termasuk pemalsuan faktur pajak yang digunakan untuk melakukan ekspor fiktif. Kejadian seperti ini, hanya bisa berjalan langgeng, karena adanya andil dari berbagai pihak tidak hanya dari pelaku usaha namun juga termasuk oknum aparat pajak. Kejadian yang lalu ini menimbulkan stigma dan “image” yang kurang baik bagi masyarakat luas. Restitusi pajak di konotasikan sebagai usaha pembobolan kas negara.

 

Di lain pihak, dan perlu disadari bersama dan oleh semua pihak, bahwa restitusi pajak merupakan hal yang wajar-wajar saja dan sesuai dengan undang-undang. Restitusi pajak adalah hak bagi WP Badan bila nilai pajak masukan lebih besar  daripada pajak keluaran (ekspor PPN=0). Sangatlah tidak adil apabila menyamaratakan semua WP Badan bahwa mereka melakukan penyelewengan pajak. Bagaimana jika yang mengajukan permohonan restitusi adalah WP Badan yang mempunyai itikad baik? Dengan adanya stigma dan image tersebut timbullah keragu-raguan di kalangan WP Badan (khususnya perusahaan ekspor) ketika mereka akan mengajukan hak mereka (restitusi pajak).

 

Berkaitan dengan hal tersebut, sejumlah perusahaan mengeluhkan sulitnya proses pengajuan restitusi PPN di Ditjen Pajak. Padahal dalam pasal 17B Undang-Undang Tentang Kententuan Umum Perpajakan (UU KUP) diatur bahwa Ditjen Pajak harus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) paling lambat 12 bulan sejak permohonan restitusi di terima secara lengkap. Jika, Ditjen Pajak tidak memberikan keputusan dalam jangka waktu tersebut maka permohonan dianggap dikabulkan, dan SKPLB diterbitkan dalam waktu paling lambat 1 (satu) bulan setelah jangka waktu berakhir. Kemudian, dalam ayat (3) pasal tersebut pun di atur apabila Ditjen Pajak terlambat menerbitkan SKPLB maka kepada WP diberikan imbalan bunga sebesar 2% per bulan, di hitung sejak berakhirnya jangka waktu.  Jadi, sebenarnya UU KUP telah memberikan suatu kepastian hukum bagi WP badan (pelaku usaha) dalam rangka mengajukan permohonan restitusi. Namun memang dalam prakteknya, sangat banyak faktor yang menghambat proses pembayaran restitusi antara lain birokrasi, interpretasi dari beberapa pasal dalam UU Perpajakan yang bisa beraneka ragam – terutama yang menyangkut “tanggung-renteng”, permintaan kelengkapan dokumen atau data perusahaan, dan lain sebagainya.

 

Dampak dari lamanya waktu yang diperlukan serta sulitnya proses pembayaran restitusi pajak , akan menimbulkan modal kerja WP Badan “tertahan” di kas negara, sehingga timbul extra financial cost bagi perusahaan. Akhirnya, hal tersebut menjadikan industri (eskportir) Indonesia kurang kompetitif dibanding dengan pesaing negara lain di pasar global.

 

Sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, maka www.hukumonline.com telah mengadakan Seminar Hukumonline 2010 yang mengangkat tema “HAK RESTITUSI PPN: MENGIKIS PENYELEWENGAN, MENINGKATKAN KEPATUHAN”, yang telah diselenggarakan pada:

 

Hari/Tanggal             : Rabu, 6 Oktober 2010

Pukul                       :  08.00 – 14.00 WIB

Tempat                    : Diamond Ballroom, Nikko Hotel – Jakarta

 


Seminar ini telah menghadirkan narasumber :

  1. Hestu Yoga Saksama, Ak., M.B.T. ( Kasubdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa dan PTLL Direktur Peraturan Perpajakan I, Direktorat   Jenderal Pajak)
  2. Drs. Anshari Ritonga S.H., M.H (Komite Pengawas Perpajakan)
  3. Haryadi B. Sukamdani (Asosiasi Pengusaha Indonesia-APINDO)
  4. Patuan Sinaga (Perhimpunan Penasehat Hukum Pajak)

Jika anda tertarik dengan notulensi seminar ini, silahkan  hubungi kami via email ke talks(at)hukumonline(dot)com. Notulensi seminar ini tersedia gratis bagi pelanggan hukumonline.com*.

*syarat dan ketentuan berlaku