Diskusi Hukumonline 2015

Pembatalan Kontrak Bahasa Asing : Permasalahan dan Antisipasi

Memahami permasalahan dan bagaimana cara mengantisipasi gugatan pembatalan kontrak bahasa asing

GAW / FD

Bacaan 2 Menit

Dari kiri ke kanan : Dr. Riyatno, S.H., LL.M. (Kepala Pusat Bantuan Hukum BKPM), Muhammad Yasin, S.H., M.H. (Redaktur Senior Hukumonline.com), dan Prof. Dr. Topane Gayus Lumbuun, S.H., M.H. (Hakim Agung Mahkamah Agung)
Pemberlakuan kewajiban berbahasa Indonesia dalam kontrak yang merupakan amanat dari Undang-Undang No. 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan kembali berujung di meja hijau. Hal ini masih menuai kontroversi setelah 6 tahun pemberlakuan beleid tersebut dikarenakan belum adanya peraturan pelaksana yang dapat menjelaskan lebih lanjut frasa “wajib” dalam amanat pasal 31 Undang-Undang tersebut dan berujung kepada multitafsir diantara pemangku kepentingan. Ketidakpastian hukum ini tentu saja membawa keresahan di kalangan investor, khususnya investor asing. Ditengah berbagai kemudahan regulasi yang ditawarkan oleh Pemerintah Indonesia dalam berinvestasi, kini para investor harus menghadapi kemungkinan adanya pembatalan kontrak dikarenakan penyusunan kontrak dalam bahasa asing. Belum lagi adanya ketidakpastian hukum ini dapat dipergunakan para debitor nakal untuk menghindari penunaian kewajiban kontrak dengan berdalih kekurang-pahaman debitor tersebut terhadap substansi kontrak akibat penggunaan bahasa asing dalam kontrak. Menghadapi permasalahan ini, langkah-langkah apa saja yang perlu diambil oleh investor untuk menghindari gugatan pembatalan kontrak bahasa asing?. Selain itu, bagaimana peran Pemerintah untuk mengantisipasi sengketa pembatalan kontrak bahasa asing di kemudian hari?.

Mengingat pentingnya isu ini untuk mendapatkan pembahasan lebih lanjut, Hukumonline.com telah menyelenggarakan Diskusi Hukumonline 2015 "Pembatalan Kontrak Bahasa Asing : Permasalahan dan Antisipasi". Diskusi ini dilaksanakan pada Kamis,10 Desember 2015 bertempat di JS Luwansa Hotel and Convention Center. Diskusi dihadiri oleh pembicara-pembicara yang sangat berkompeten, meliputi :

 
  1. Prof. Dr. Topane Gayus Lumbuun, S.H., M.H. (Hakim Agung - Mahkamah Agung RI) yang membawakan materi mengenai "Pandangan Hakim Terhadap Peluang Pembatalan Kontrak Bahasa Asing Sebagai Yurisprudensi dan Pengawasan Terhadap Eksekusinya"
  2. Dr. Riyatno, S.H., LL.M. (Kepala Pusat Bantuan Hukum - Badan Koordinasi Penanaman Modal RI) yang membawakan materi mengenai "Dampak Pembatalan Kontrak Bahasa Asing Terhadap Investasi Asing di Indonesia"
  3. Reza Fikri Febriansyah, S.H., M.H. (Kepala Seksi Penyelenggaraan Pembahasan Rancangan Undang-Undang - Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI) yang membawakan materi mengenai "Pengaturan Mengenai Bahasa Dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan)
  4. Eri Hertiawan, S.H., LL.M. (Partner - Assegaf Hamzah and Partners) yang membawakan materi mengenai "Langkah Strategis Dalam Menghadapi Gugatan Pembatalan Kontrak Bahasa Asing
Dalam kesempatan tersebut, Gayus Lumbuun memaparkan bahwa terdapat lima syarat agar suatu putusan hakim dapat disebut yurisprudensi, yakni : 1) Keputusan atas sesuatu peristiwa apa hukumnya apabila belum jelas pengaturan perundang-undangannya ; 2) Keputusan tersebut harus sudah merupakan keputusan tetap ; 3) Telah berulang kali putus dengan keputusan dalam kasus yang sama ; 4) Memenuhi rasa keadilan ; dan 5) Keputusan itu dibenarkan oleh Mahkamah Agung. Berkaitan dengan putusan MA tentang kewajiban kontrak menggunakan Bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) dan (2) UU No. 24 Tahun 2009, maka secara normatif putusan MA tersebut lebih menegaskan kembali terhadap aturan yang sudah ada. Berarti pula bahwa untuk dikatakan sebagai suatu yurisprudensi tidak memenuhi persyaratan untuk terbentuknya yurisprudensi, sebab salah satu syaratnya suatu putusan hakim menjadi yurisprudensi apabila putusan tersebut mengisi kekosongan aturan atau aturan tidak jelas. Selain itu, menghadapi adanya isu ini, Riyatno sebagai perwakilan dari BKPM mengungkapkan bahwa isu ini sebenarnya dikhawatirkan dapat menurunkan minat investasi asing dan membuka peluang kemungkinan digugatnya Pemerintah Indonesia ke Arbitrase Internasional. 

Eri Hertiawan, Partner di Assegaf Hamzah and Partners, melihat beberapa tantangan dari sisi praktik dengan adanya kewajiban penggunaan bahasa Indonesia ini, termasuk didalamnya adalah kewajiban penggunaan bahasa Indonesia di dalam kontrak elektronik sesuai dengan amanat pasal 48 Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2012. Eri meninjau bahwa perjanjian elektronik adalah perjanjian yang dibuat dalam dunia maya yang tidak mengenal asas teritorial karena sulit untuk dibuktikan di negara mana perjanjian tersebut disepakati. Melihat isu ini, Eri mengatakan bahwa sebaiknya perjanjian yang dilakukan secara elektronik harus diverifikasi oleh notaris dengan cara mencetak dokumen elektronik tersebut, mencocokan hasil cetak dokumen elektronik dengan dokumen elektronik, dan Notaris memverifikasi bahwa hasil cetak tersebut adalah otentik. Hasil cetak yang telah dinyatakan otentik inipun diterjemahkan oleh penerjemah resmi. 

Diskusi ini berjalan dengan lancar. Narasumber dan peserta terlibat diskusi yang sangat interaktif dan kerap mendiskusikan permasalahan yang terjadi seputar kontrak berbahasa asing yang mereka temui. 



-------------------------------

Jika anda tertarik dengan Notulensi Diskusi ini, silahkan menghubungi kami via email ke [email protected]. Notulensi ini tersedia gratis bagi pelanggan hukumonline.