Pengembalian kerugian keuangan negara oleh korporasi yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi menjadi hal penting. Hal ini dikarenakan lantaran kerugian negara yang terjadi nilainya terkadang fantastis. Apakah gagasan pengembalian kerugian keuangan negara oleh korporasi hal yang memungkinkan dilaksanakan? Atau ada cara lain agar pengembalian kerugian keuangan negara tersebut dapat diperoleh negara secara maksimal. Gagasan pembaruan hukum sanksi pengembalian keuangan negara oleh korporasi pun menjadi isu yang menarik didiskusikan.
Sebagaimana diketahui, pengaturan sanksi pidana tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti terhadap korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi termaktub dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Namun, pengaturan tersebut mengandung kekaburan norma jika diterapkan terhadap pemidanaan korporasi. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU Tipikor hukuman tambahan berupa kewajiban pembayaran uang pengganti jika korporasi tidak mempunyai harta benda untuk membayar uang pengganti dapat diganti dengan pidana penjara.
Selain itu, pengaturan sanksi pengembalian kerugian keuangan negara dalam perkara tindak pidana korupsi oleh korporasi masih tersebar secara sektoral. Sehingga menyebabkan pengembalian kerugian keuangan negara oleh korporasi yang melakukan tindak pidana korupsi tidak akan maksimal. Hal ini menimbulkan hambatan dalam penerapan sanksi pidana tambahan pembayaran uang pengganti terhadap korporasi, sehingga penting untuk dilakukan pembaruan hukum pidana.
Mengingat pengaturan sanksi pengembalian kerugian keuangan negara dalam UU Tipikor terjadi kekaburan norma, maka ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf b ayat (2) serta ayat (3) UU Tipikor dengan UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP (KUHP Baru) perlu diintegrasikan.