Konsep perubahan perilaku sebetulnya tak sepenuhnya baru. Sebelum berlakunya Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2023 (PerKPPU 2/2023) tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU, konsep ini sudah diperkenalkan dalam Peraturan KPPU No. 1 Tahun 2019 (PerKPPU 1/2019). Di belahan dunia lain pun seperti Uni Eropa dan Jepang misalnya, konsep perubahan perilaku juga telah familiar di bidang persaingan usaha, walau model yang diterapkan tidak persis sama. Otoritas persaingan Indonesia sendiri juga mengembangkan konsep ini dari kelemahan yang sebelumnya banyak dikritik dalam PerKPPU 1/2019.
Salah satunya, soal aturan yang mewajibkan Terlapor untuk mengaku bersalah (admission of guilt) dan menerima tuduhan yang dijabarkan dalam Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP) oleh investigator. Terlebih ketika itu, konteks perubahan perilaku yang diberikan bukan bersifat hak, melainkan kesempatan yang mana bisa saja diterima ataupun ditolak Majelis.
Bisa dibayangkan, jika seseorang beriktikad baik kemudian menerima LDP, namun untuk bisa dikabulkan diberikan persyaratan yang sulit dipenuhi, alhasil bisa dianggap tidak melaksanakan atau tidak memenuhi persyaratan perubahan perilaku.
Kabar baiknya, pasca berlakunya PerKPPU 2/2023, ketentuan soal perubahan perilaku di aturan lama tidak lagi persis sama. Di aturan terkini, terlapor bisa tetap mengajukan perubahan perilaku meskipun terlapor lain tak menerima LDP. Keuntungannya, bagi terlapor yang mengakui dan menerima LDP serta menyatakan tak akan mengajukan alat bukti untuk membantah itu, maka Majelis Komisi bisa saja memberikan keringanan sanksi.