Sifat Mandatory dan Voluntary Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas

Sifat Mandatory dan Voluntary Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas

Ada perbedaan konsep CSR sebagaimana yang dipahami secara jamak dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan.
Sifat Mandatory dan Voluntary Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) mengatur mengenai Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) sebuah Perseoran. Menurut Pasal 1 angka 3 UUPT, tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah komitmen perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. Konsep tanggung jawab sosial dan lingkungan ini yang  kemudian lebih dikenal dengan Corporate Social Responsibilty (CSR).

Selain UU Perseroan Terbatas, sejumlah Undang-Undang ikut mengatur anasir-anasir mengenai CSR. Mulai dari UU No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM), serta sejumlah peraturan lainnya. Ragam istilah digunakan oleh masing-masing UU untuk menjelaskan CSR. Ada yang menyebutkan dengan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan, ada pula program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menegaskan konsep ini dengan istilah pengelolaan lingkungan hidup.

CSR sendiri sebagai suatu konsep, berkembang pesat sejak 1980-an hingga 1990-an sebagai reaksi dan suara keprihatinan dari organisasi-organisasi masyarakat sipil dan jaringan tingkat global untuk meningkatkan prilaku etis, fairness dan responsibilitas korporasi yang tidak hanya terbatas pada korporasi, tetapi juga pada para stakeholder dan komunitas atau masyarakat sekitar wilayah kerja dan operasinya. KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazil, tahun 1992, menegaskan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainibility development) sebagai hal yang wajib diperhatikan, tak hanya oleh negara, tetapi terlebih oleh kalangan korporasi yang kekuatan kapitalnya makin menggurita.

Salah satu hasil konferensi KTT tersebut antara lain, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Kemudian pada 2002, para pemimpin dunia di Yohannesburg telah mengajukan dan melahirkan konsep social responsibility untuk menggenapi dua paradigma pembangunan sebelumnya yaitu economic growth dan environment sustainability. Ketiganya menjadi dasar bagi perusahaan untuk menerapkan  CSR di dalam menjalankan korporasinya. Pada pertemuan UN Global Compact di Jenewa, Swiss tahun 2007, perusahaan diminta untuk menunjukkan penerapan dan pelaksanaan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang dikenal dengan CSR.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional