Diskursus Lawas tentang Larangan Ultra Petita

Diskursus Lawas tentang Larangan Ultra Petita

Hukum acara perdata melarang hakim mengabulkan melebihi apa yang dituntut. Dalam hal tertentu, hakim menerobos larangan itu.
Diskursus Lawas tentang Larangan Ultra Petita
Ilustrasi: Shutterstock

Di negara manapun, termasuk Indonesia, selalu ada kisah pembangunan skala besar yang menimbulkan polemik hukum berkepanjangan. Terkadang, polemik semacam itu tidak hanya melahirkan konflik sosial, tetapi juga bermuara ke pengadilan, serta menghabiskan sumber daya dan waktu yang tak sedikit. Dari kasus itu, para ahli dan praktisi hukum acapkali mendapat pelajaran berharga tentang suatu konsep hukum. Pembangunan waduk Kedungombo di Jawa Tengah mungkin dapat dijadikan contoh.

Presiden Soeharto meresmikan penggunaan waduk Kedungombo pada 18 Mei 1991. Puluhan tahun kemudian, waduk itu bukan hanya berguna sebagai sumber air untuk pembangkit listrik, tetapi juga lokasi wisata. Sewaktu Hukumonline berkunjung ke sana, pekan kedua Februari lalu (11/02/2024), tak banyak wisatawan yang berkunjung. Di pinggir waduk terbaca tulisan pengelola kawasan wisata: KPH Telawa Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Tengah. Di bawahnya, ada juga tulisan larangan mandi dan bermain di waduk karena berbahaya. Kini, ada beberapa jalan masuk ke lokasi wisata di seputar waduk Kedungombo.

Pembangunan waduk Kedungombo telah tercatat sebagai salah satu proyek pembangunan yang kontroversial pada masanya. Bukan hanya karena luasnya lahan yang harus dibebaskan, tetapi juga konflik panjang yang menyertainya. Kasus ini bahkan sempat dibahas dalam Konferensi Hak Asasi Manusia di Strassbourg Perancis tahun 1993 (Isdiyanto dkk. Menyelami Kedungombo, 2003: 11). Upaya mempertahankan tanah dan pembelaan diri melalui forum pengadilan seolah menjadi simbol rakyat versus penguasa.

Regulasi dan proses pembebasan lahan warga dianggap tidak adil, terutama nilai ganti rugi lahan yang tidak sepadan. Pemerintah awalnya menawarkan ganti rugi 300 rupiah per meter persegi untuk sawah dan 2.150 rupiah per meter persegi untuk rumah/bangunan. Tidak ada titik temu antara sebagian warga pemilik lahan dengan pemerintah, meskipun dalam prosesnya pemerintah sempat menaikkan nilai ganti rugi.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional