Golput Sebagai Hak dan Bisa Jadi Tindak Pidana

Golput Sebagai Hak dan Bisa Jadi Tindak Pidana

Tidak memilih dalam kontestasi pemilu merupakan hak setiap orang, namun hak itu dibatasi dengan tidak mengajak orang lain untuk tidak memilih yang disertai dengan menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya.
Golput Sebagai Hak dan Bisa Jadi Tindak Pidana
Ilustrasi pemungutan suara. Foto: RES

Istilah Golput atau golongan putih kerap muncul menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) baik kepala daerah, maupun Pemilu Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD dan DPRD seperti yang akan berlangsung pada 14 Februari 2024 ini. Golput diistilahkan sebagai orang yang tidak memilih siapa pun yang mengikuti kontestasi Pemilu.

Melansir aclc.kpk.go.id, istilah golput mulai mengemuka ketika pada 3 Juni 1971, di mana sekelompok mahasiswa, pemuda dan pelajar meriung di Balai Budaja Djakarta. Mereka memproklamirkan berdirinya "Golongan Putih" sebagai gerakan moral. Di antara tokoh-tokoh yang menjadi motor gerakan itu, seperti Adnan Buyung Nasution dan Arief Budiman, tulis KPK seperti dilansir dari harian Kompas, 5 Juni 1971.

"Kelompok ini merasa aspirasi politik mereka tidak terwakili oleh wadah politik formal waktu itu," demikian dikutip dari buku Arief Budiman Tukang Kritik Profesional (2020). “Mereka menyeru orang-orang yang tidak mau memilih partai politik dan Golkar untuk menusuk bagian yang putih (yang kosong) di antara sepuluh tanda gambar yang ada.”

Setelah bertahun-tahun sejak itu, Arief mengatakan, dirinya melahirkan gerakan Golput karena Pemilu 1971 digelar tidak demokratis, yakni pemerintah membatasi jumlah partai. Sebetulnya istilah golput datang dari rekan Arief, Imam Waluyo yang ikut juga dalam gerakan itu.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional