Keabsahan Perjanjian yang Dibuat dalam Keadaan Terpaksa

Keabsahan Perjanjian yang Dibuat dalam Keadaan Terpaksa

Untuk dapat mengakibatkan dapat dibatalkannya perjanjian, suatu paksaan harus berupa tindakan yang mempunyai sifat yang tak dibenarkan. Perjanjian yang dibuat di bawah paksaan berbeda dari perjanjian yang dibuat dalam keadaan memaksa.
Keabsahan Perjanjian yang Dibuat dalam Keadaan Terpaksa

Berhati-hatilah memaksa seseorang menandatangani dokumen dengan acaman akan dilaporkan ke kepolisian jika dokumen tersebut tidak ditandatangani. Apalagi jika dokumen itu berisi perjanjian pembagian aset tanah. Ancaman melaporkan pihak lain ke polisi bisa dianggap sebagai keadaan terpaksa. Keadaan terpaksa demikian, sering juga disebut tekanan, dapat dijadikan alasan untuk meminta pembatalan perjanjian.

Peristiwa yang hampir mirip menimpa seorang warga Bandung pemilik lahan sesuai eksekusi putusan pengadilan. Tiba-tiba ada pihak lain yang mengklaim punya hak milik atas sebagian lahan itu. Pihak lain dimaksud bahkan melaporkan pemilik asal ke polisi. Pemilik asal menggugat secara perdata klaim pihak lain. Saat proses gugatan ini berjalan, ada proses pemeriksaan di kepolisian. Pihak lain bersedia menarik laporan polisi asalkan pemilik asal bersedia menandatangani surat perjanjian yang isinya mengakui sebagian hak pihak lain. Perjanjian inilah yang kemudian menjadi objek sengketa baru di pengadilan. Pengadilan tingkat pertama dan pengadilan tingkat banding mengabulkan sebagian gugatan, dan menyatakan perjanjian tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Demikian pula semua surat yang diterbitkan merujuk pada perjanjian tadi.

Dalam permohonan kasasi pihak lain mengklaim penentuan keadaan terpaksa tidak bisa secara sepihak. Namun majelis kasasi menyatakan pertimbangan judex facti sudah tepat dan benar, tidak salah menerapkan hukum. Menurut majelis hakim, penggugat berhasil membuktikan bahwa ketika membuat perjanjian perdamaian dengan Tergugat, penggugat dalam keadaan terpaksa. Suatu perjanjian yang dibuat dalam keadaan terpaksa, kata hakim dalam pertimbangan, adalah cacat secara hukum. Itu sebabnya permohonan kasasi oleh Tergugat ditolak Mahkamah Agung. Pertimbangan senada dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung No. 1657 K/Pdt/2011 tanggal 21 Desember 2011.

Bukan kali ini saja Mahkamah Agung membatalkan perjanjian yang dibuat pada saat salah satu pihak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa membubuhkan tanda tangan. Pada 11 September 2002, Mahkamah Agung memutuskan perkara lain mengenai keabsahan perjanjian yang dibuat di bawah tekanan. Penggugat berada dalam tahanan kepolisian ketika ‘dipaksa’ menandatangani beberapa akta notaris. Tergugat menyangkal argumentasi penggugat mengenai keadaan tertekan. Argumentasi tergugat ini juga diterima pengadilan tingkat banding. Tetapi Mahkamah Agung menyatakan para tergugat melakukan perbuatan melawan hukum. Akta-akta diteken penggugat dalam keadaan terpaksa, sehingga dinyatakan tidak sah dan harus dibatalkan (putusan MA No. 3641 K/Pdt/2011).

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional