Menafsir Ulang Istilah Dungu, Sakit Otak dan Mata Gelap dalam Hukum Perdata

Menafsir Ulang Istilah Dungu, Sakit Otak dan Mata Gelap dalam Hukum Perdata

Penggunaan kata dungu, sakit otak, dan mata gelap tidak dimaksudkan kasar dan merendahkan dalam proses penyusunan KUH Perdata.
Menafsir Ulang Istilah Dungu, Sakit Otak dan Mata Gelap dalam Hukum Perdata

Kalau ada kata dalam bahasa Indonesia yang belakangan memantik perdebatan di ruang publik, kata ‘dungu’ mungkin termasuk salah satunya. Apalagi jika kata itu dibingkai dalam diskursus politik. Tetapi, pernahkah Anda tahu bahwa lema ‘dungu’ sudah dikenal dalam dunia hukum jauh sebelum pro dan kontra setahun terakhir?

Tidak percaya? Bukalah terjemahan Burgerlijk Wetboek yang disusun dua tokoh hukum nasional, Prof. R. Subekti dan R. Tjitrosudibio. Hingga cetakan kedua puluh lima (1992), Kitab Undang-Undang Hukum Perdata itu masih menggunakan kata ‘dungu’. Sebagai contoh, bacalah rumusan Pasal 433 KUH Perdata tersebut: “Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak, atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya”.

Memang, tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud ‘dungu’ dalam pasal tersebut, dan pasal-pasal lain dalam KUH Perdata. Kamus Besar Bahasa Indonesia Balai Pustaka (2015: 347) mengartikan lema ‘dungu’ sebagai sangat tumpul otaknya; tidak cerdas; bebal; bodoh. Kalau disebut kedunguan, maknanya adalah kebodohan; kebebalan. Sedangkan istilah lain, mata gelap, yang juga disebut dalam Pasal 433 KUH Perdata, diartikan sebagai tidak dapat berpikir terang; mengamuk (karena marah sekali); gelap mata (2015: 886).

Lema ‘dungu’ juga ditemukan dalam buku-buku teks hukum yang membahas masalah pengampuan (curatele). I Ketut Oka Setiawan dalam bukunya “Hukum Perorangan dan Kebendaan” (2016) menggunakan kata tersebut saat membahas topik pengampuan. Menurut Oka Setiawan, pengampuan adalah suatu keadaan di mana seseorang yang sudah dewasa tetapi tidak dapat bertindak sendiri karena ketidakmampuannya. Dalam keadaan tersebut, maka harus diangkat seseorang untuk mewakili dan mengawasi orang yang diampu.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional