Suatu hari, seorang mahasiswa semester lima dibawa ke kantor Polres Depok karena dituduh melakukan pelecehan seksual terhadap anak perempuan di bawah umur. Pada hari yang sama, pelaku diperiksa penyidik. Mahasiswa tersebut sangat ketakutan dan tak bisa lancar menjawab pertanyaan-pertanyaan penyidik.
Menjelang tengah malam, tim pendamping datang ke kantor polisi, memberitahukan latar belakang si mahasiswa. Tim pendamping membawa bukti diagnosis bahwa ‘pelaku’ ini adalah penyandang disabilitas dengan gangguan intelektualitas. Tim pendamping meminta agar penyidik menciptakan suasana nyaman agar mahasiswa tadi bersedia bercerita yang sebenarnya.
Kisah mengenai seorang penyandang disabilitas yang diproses di kepolisian itu diceritakan kembali Jamal al-Bakri, seorang akademisi sekaligus pendamping penyandang disabilitas, dalam webinar ‘Praktik Pendampingan Hukum bagi Individu dengan Disabilitas Intelektual dan Perkembangan’, Sabtu (19/03/2022).
Ini kali kedua Fakultas Hukum Universitas Katholik Parahyangan Bandung menggelar acara serupa, yang menunjukkan pentingnya pendampingan hukum bagi penyandang disabilitas. Dekan Fakultas Hukum, Liona Nanang Supriatna mengatakan penyandang disabilitas dalam jangka waktu tertentu dapat mengalami hambatan untuk berpartisipasi. Itu sebabnya dibutuhkan pendampingan hukum. “Pendampingan hukum merupakan suatu bentuk perlindungan yang harus diterima oleh penyandang disabilitas,” ujarnya.