Tafsir Pengadilan tentang Ketertiban Umum dalam Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional

Tafsir Pengadilan tentang Ketertiban Umum dalam Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional

​​​​​​​Pengadilan Indonesia enggan melaksanakan putusan arbitrase atau menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional karena alasan bahwa putusan arbitrase yang bertentangan dengan public policy atau ketertiban umum.
Tafsir Pengadilan tentang Ketertiban Umum dalam Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional

Eksekusi dalam perkara perdata merupakan tindakan hukum memaksa yang dijalankan oleh Ketua Pengadilan Negeri. Pasal 54 ayat 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaaan Kehakiman menyatakan bahwa “pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh penitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan”. Kerena itu, Pengadilan Negeri merupakan lembaga yang berwenang melakukan eksekusi putusan arbitrase. Pasal 69 ayat 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengatur tata cara penyitaan dan pelaksanaan putusan mengikuti tata cara sebagaimana ditentukan dalam Hukum Acara Perdata.

Dengan kata lain, peran pengadilan dalam eksekusi putusan arbitrase menjadi penting. Apalagi jika terdapat para pihak yang tidak berkenan melaksanakan putusan secara sukarela. Namun dalam praktik, kerap ditemukan dalam pelaksanaan putusan arbitrase di Indonesia. Bahkan Indonesia dianggap sebagai tidak ramah terhadap arbitrase (Indonesia is unfriendly to arbitration). Hal ini sampai disematkan kepada Indonesia menyusul praktik pelaksanaan putusan arbitrase yang masih sulit dan memakan waktu relatif lama serta biaya yang juga tidak sedikit.

Salah satu contoh dari kerumitan proses eksekusi putusan arbitrase di Indonesia adalah dalam perkara antara Pertamina dan PT. PLN (Persero) melawan Karaha Bodas Company LLC (KBC) yang telah diputus di Jenewa, Swiss, oleh Badan Arbitrase Internasional pada tanggal 18 Desember 2000. Putusan Badan Arbitrase Internasional tersebut menyatakan Pertamina dan PT. PLN (Persero) telah melanggar perjanjian (breach of contract), sehingga Pertamina dan PT. PLN (Persero) dihukum membayar ganti rugi sejumlah uang tertentu. Namun, meski sudah 17 tahun berlalu, putusan Badan Arbitrase Internasional Jenewa, Swiss tersebut belum juga dapat dilaksanakan eksekusinya oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat secara tuntas.

Perjalanan kasus ini bahkan sempat diwarnai pembatalan putusan arbitrase oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebelum kemudian pembatalan tersebut dianulir oleh Putusan Banding dari Mahkamah Agung. Mendiang Husseyn Umar, Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menyebutkan, untuk dapat melaksanakan putusan arbitrase internasional ini, Karaha Bodas Company LLC bahkan sampai mengajukan pelaksanaan eksekusi putusan di negara lain dimana terdapat kekayaan Pertamina berada.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional