Peluang Constitutional Question dan Constitutional Complaint di Indonesia

Peluang Constitutional Question dan Constitutional Complaint di Indonesia

Mekanisme constitutional question dan constitutional complaint belum diadopsi di Indonesia, meskipun sudah ada beberapa kasus yang mengandung substansinya.
Peluang Constitutional Question dan Constitutional Complaint di Indonesia

Inilah sepenggal kisah seorang staf diplomatik yang diberhentikan dari pekerjaannya. Bertugas jauh dari Jakarta membuat staf tersebut tidak langsung menerima surat keputusan pemberhentiannya. Setelah menerima surat keputusan tersebut, staf diplomat masih belum bisa menerima alasan pemberhentian dan berniat mempertanyakannya. Ia juga butuh waktu untuk mengurus banyak hal di negara penempatannya sebelum kembali ke Indonesia.

Setelah berada di Tanah Air, ia berkonsultasi dengan sejumlah pihak terutama mengambil langkah hukum atas surat keputusan pemberhentian. Setelah merasa yakin, akhirnya staf diplomat itu melayangkan gugatan pembatalan surat keputusan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatannya mentah di tengah jalan. Majelis hakim menyatakan gugatan sudah melampaui batas waktu, terbentur oleh ketentuan Pasal 55 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal ini menegaskan gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak saat diterima atau diumumkan Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Kata hakim, kalau sudah lewat 90 hari, gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri.

Berbekal ‘saran’ hakim PTUN, staf diplomatik tersebut mengajukan gugatan ke PN Jakarta Timur. Di sini, langkah sang penggugat kembali mentah. Hakim menegaskan karena yang digugat adalah suatu surat keputusan, maka yang berwenang adalah PTUN, bukan Pengadilan Negeri. Kecewa setiap upaya hukumnya gagal, staf diplomatik berinisial ER itu memohonkan pengujian Pasal 55 UU PTUN ke Mahkamah Konstitusi. Ia mengatakan, sebagai orang yang bertugas jauh dari Jakarta, tidak tahu adanya ketentuan Pasal 55 UU PTUN. Mahkamah Konstitusi menolak argumentasi ini dengan menyodorkan fiksi hukum (rechtsfictie), yang pada intinya menyatakan setiap orang dianggap tahu hukum.

Ada banyak warga negara yang menemui ‘jalan buntu’ ketika menghadapi persoalan hukum nyata. Ada banyak warga negara yang diadili dalam perkara pidana dan mempertanyakan konstitusionalitas norma yang dipergunakan hakim. Misalnya pasal-pasal penghinaan kepada presiden dan pencemaran nama baik. Jika terdakwa, hakim pengadilan, atau pihak lain ragu atas konstitusionalitas norma, kemana ia harus mengajukan pertanyaan? Dalam kasus-kasus riil pencemaran nama baik, misalnya, kemungkinan muncul pertanyaan-pertanyaan konstitusional. Faktanya, salah satu kekosongan hukum dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah ketiadaan mekanisme constitutional question dan constitutional complaint. Di sejumlah negara, mekanisme itu diatur dan kewenangannya diberikan kepada Mahkamah Konstitusi.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional