Lembaga Kajian dan Advokasi Independen Peradilan (LeIP) dalam Kertas Kebijakan Manajemen Pengetahuan MA 2016 mengungkap, di kurun waktu 2008 hingga 2015, jumlah perkara Peninjauan Kembali (PK) yang masuk ke Mahkamah Agung mencapai 2.347 perkara per tahun. Dari jumlah tersebut, jenis perkara yang menyumbang Peninjauan Kembali cukup besar adalah permohonan Peninjauan Kembali perkara perdata, yakni sekitar 762 perkara atau 35% dari total permohonan Peninjauan Kembali yang masuk ke MA.
Sementara itu, dari 150 putusan sejak 2011 hingga 2014, terdapat 219 perkara atau sekitar 72,8% pengajuan Peninjauan Kembali mendalilkan kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata sebagai alasan. Dengan kata lain, dalil kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata kerap digunakan para pihak saat mengajukan Peninjuan Kembali. Fakta bahwa secara normatif ketiadaan definisi dan batasan yang jelas mengenai kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata ikut andil tingginya dalil ini dalam pengajuan Peninjauan Kembali.
Pricylia Eunike Tatuhas dalam Alasan Mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali dalam Praktik Peradilan Pidana menyebutkan, landasan filosofis pengaturan Peninjauan Kembali dalam KUHAP adalah bahwa negara telah salah dalam menjatuhkan pidana bagi warga negara dan tidak dapat diperbaiki dengan upaya hukum biasa. Hal ini berdampak pada dirampasnya keadilan dan hak-hak terpidana akibat proses peradilan yang salah.
Salah satu kasus yang menjadi dasar Mahkamah Agung (MA) menghidupkan Lembaga PK zaman dahulu adalah kasus peradilan sesat terhadap Sengkon dan Karta pada tahun 1980. Keduanya dinyatakan bersalah melakukan pembunuhan dan perampokan serta telah menjalani sebagian hukuman padahal di kemudian hari diketahui bahwa bukan mereka pelakunya.