Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Sebar Video dan Gambar Pornografi ke Internet, Ini Sanksinya

Share
copy-paste Share Icon
Teknologi

Sebar Video dan Gambar Pornografi ke Internet, Ini Sanksinya

Sebar Video dan Gambar Pornografi ke Internet, Ini Sanksinya
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Sebar Video dan Gambar Pornografi ke Internet, Ini Sanksinya

PERTANYAAN

Jika orang membuat foto atau video porno untuk dinikmati sendiri tapi akhirnya disebarkan oleh pihak laki-laki ke internet foto-foto perempuannya, apakah korban mendapatkan hukuman juga? Lalu si penyebar foto dan video porno tersebut terkena hukuman berapa lama?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Terhadap orang yang membuat dan menyebarkan konten pornografi baik berupa gambar pornografi, video pornografi, film pornografi, dan lain-lain, dapat dijerat dengan pasal-pasal di dalam UU Pornografi dan/atau UU ITE dan perubahannya.

    Apabila pria dan wanita saling setuju untuk membuat rekaman atau foto pornografi, kemudian si pria menyebarkannya, tetapi pihak wanita sebelumnya tidak memberikan pernyataan tegas untuk melarang hal tersebut, maka wanita dapat terjerat tindak pidana penyebarluasan pornografi. 

    Namun, jika pihak wanita secara tegas tidak mengizinkan untuk menyebarluaskan atau bahkan sejak awal tidak mengetahui adanya pembuatan foto pornografi maupun video pornografi tersebut, maka pihak wanita memiliki posisi yang lebih kuat untuk tidak dipersalahkan sebagai turut serta dalam penyebaran pornografi.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran keempat dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Josua Sitompul, S.H., IMM dan dipublikasikan pertama kali pada 31 Oktober 2014, kemudian dimutakhirkan pertama kali oleh Sovia Hasanah, S.H. pada 29 Agustus 2018, lalu dimutakhirkan kedua kali pada 27 Juli 2021, dan dimutakhirkan ketiga kali pada 4 Februari 2022.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    KLINIK TERKAIT

    Jerat Hukum dan Ancaman Pidana Pelaku Sodomi

    Jerat Hukum dan Ancaman Pidana Pelaku Sodomi

    Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan beberapa hal berikut:

    1. Yang dimaksud “membuat foto pornografi atau video pornografi untuk dinikmati sendiri” ialah mengambil gambar pornografi atau rekaman video yang berisi hubungan seksual antara pria dan wanita itu sendiri.
    2. Pria dan wanita tersebut tidak termasuk dalam kategori anak sebagaimana dimaksud dalam perundang-undangan.

    Definisi dan Ruang Lingkup Pornografi

    Berbicara mengenai pornografi, dewasa ini cukup dengan tersambung jaringan internet, ada berbagai cara untuk mengakses dan melihat film pornografi, atau bahkan telah ada aplikasi pornografi tersendiri.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Di sisi lain, ada beberapa undang-undang yang mengatur mengenai gambar, foto, video, hingga film pornografi, sebagai berikut:

    1. Kejahatan terhadap kesusilaan/tindak pidana kesusilaan yang diatur dalam Bab XIV KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Bab XV UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026;
    2. Perbuatan yang dilarang terkait akses informasi dan/atau dokumen elektronik yang bermuatan melanggar kesusilaan dalam UU ITE dan perubahannya; dan
    3. Tindakan membuat dan menyebarluaskan pornografi menurut UU Pornografi.

    Kemudian, terhadap tindak pidana kesusilaan berupa menyebarkan video dan gambar pornografi ke internet, dapat diterapkan asas atau doktrin lex specialis derogat legi generali, yang artinya hukum khusus menyampingkan hukum umum.[2] Dalam kasus hukum pidana, terdapat tindak pidana umum yang diatur dalam KUHP, dan tindak pidana khusus yang pengaturan hukumnya berada di luar KUHP. Menyambung kasus hukum yang Anda tanyakan, tindak pidana khusus contohnya menyebarkan video dan gambar pornografi ke internet diatur dalam UU Pornografi serta UU ITE dan perubahannya.

    Lebih lanjut, Pasal 1 angka 1 UU Pornografi memberikan definisi mengenai pornografi, yaitu gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

    Secara teoritis-normatif, foto atau rekaman video hubungan seksual disebut pornografi apabila gambar pornografi atau rekaman tersebut melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

    Lalu, Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi melarang setiap orang untuk memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:[3]

    1. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
    2. kekerasan seksual;
    3. masturbasi atau onani;
    4. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
    5. alat kelamin; atau
    6. pornografi anak.

    Namun, perlu diperhatikan, yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.[4]

    Hukumnya Membuat Gambar dan Video Pornografi

    Dalam hal pria dan wanita saling memberikan persetujuan untuk perekaman video seksual mereka dan pengambilan gambar pornografi serta video tersebut hanya digunakan untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam pengecualian di atas, maka tindakan pembuatan dan penyimpanan yang dimaksud tidak termasuk dalam ruang lingkup “membuat” sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi.

    Tapi, lain halnya jika pria atau wanita melakukan pengambilan gambar pornografi atau perekaman hubungan seksual mereka tanpa diketahui oleh pasangannya, atau tanpa persetujuannya, maka pembuatan video pornografi tersebut melanggar Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi. Persetujuan (consent) merupakan bagian yang sangat vital dalam menentukan adanya pelanggaran atau tidak.

    Lalu, pelaku pelanggar Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi dapat dipidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 12 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp6 miliar.[5]

    Penyebaran Gambar dan Video Pornografi

    Dalam hal pembuatan gambar pornografi atau video disetujui oleh para pihak, maka penyebaran oleh salah satu pihak dapat membuat pihak lain terjerat ketentuan pidana, sepanjang pihak itu tidak secara tegas memberikan larangan untuk penyebarannya.

    Misalnya jika pria dan wanita sepakat atau saling memberikan persetujuan untuk pembuatan gambar pornografi atau rekamannya, kemudian si pria menyebarkannya, tetapi wanita sebelumnya tidak memberikan pernyataan tegas untuk melarang pria untuk menyebarkan atau mengungkap pornografi tersebut, maka pihak wanita dapat terjerat tindak pidana penyebarluasan pornografi.

    Namun apabila wanita sebelumnya telah memberikan pernyataan tegas bahwa ia setuju membuat foto dan video pornografi tetapi tidak mengizinkan pria untuk mengungkap atau menyebarkannya, maka si wanita memiliki posisi yang lebih kuat untuk tidak dipersalahkan karena turut serta menyebarluaskan pornografi.

    Demikian juga apabila wanita memang sejak awal tidak mengetahui adanya pembuatan gambar pornografi atau video pornografi, atau tidak memberikan persetujuan terhadap pembuatan konten pornografi tersebut, maka dalam hal ini, wanita dapat disebut sebagai korban penyebarluasan konten pornografi.

    Hukumnya Menyimpan Konten Pornografi

    Selanjutnya, Pasal 6 UU Pornografi mengatur bahwa setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi, kecuali yang diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.

    Larangan "memiliki atau menyimpan" tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan" misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya. Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat atau di lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga yang dimaksud.[6]

    Kemudian menjawab pertanyaan Anda, apakah pembuatan video atau gambar pornografi tersebut melanggar atau tidak, salah satu interpretasi yang mungkin ialah sebagai berikut:

    1. Dalam hal pria dan wanita telah saling memberikan persetujuan terlebih dahulu, maka penyimpanan atau pemilikan pornografi tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses membuat dan hal ini masuk dalam kategori pengecualian yang dimaksud dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi. Secara teknis, umumnya, setelah video atau gambar pornografi dibuat, secara otomatis akan disimpan dalam sistem penyimpanan yang ada di dalam media elektronik. Oleh karena itu, secara hukum, apabila dalam satu kesatuan proses, menjadi tidak logis apabila pembuatan diperbolehkan tetapi penyimpanan atau kepemilikannya dilarang.
    2. Apabila salah satu pihak tidak memberikan persetujuan terlebih dahulu, maka penyimpanan atau pemilikannya menjadi dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UU Pornografi. Lalu, orang yang melanggar ketentuan ini dapat dipidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.[7]

    Larangan Memfasilitasi Pornografi

    Pasal 7 UU Pornografi mengatur bahwa setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam Pasal 4 UU Pornografi. Lantas apakah tindakan pria atau wanita yang memberikan persetujuan kepada pasangannya dalam pembuatan gambar pornografi termasuk memfasilitasi pornografi?

    Interpretasi yang dimungkinkan dari ketentuan tersebut ialah bahwa sepanjang wanita atau pria telah memberikan persetujuan untuk terlibat di dalam foto atau video pornografi, maka ia tidak dapat dianggap sebagai memfasilitasi perbuatan pornografi.

    Hukuman Penyebar Gambar dan Video Pornografi

    Kemudian, tindakan menyebarkan gambar dan video pornografi pada dasarnya termasuk dalam perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE sebagai berikut:

    Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

    Pelanggar pasal di atas dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.[8] Agar pelaku dapat dijerat dengan pasal ini, ada hal-hal yang harus diperhatikan:[9]

    1. Konten melanggar kesusilaan yang ditransmisikan dan/atau didistribusikan atau disebarkan dapat dilakukan dengan cara pengiriman tunggal ke orang perseorangan maupun kepada banyak orang (dibagikan, disiarkan, diunggah, atau diposting).
    2. Fokus perbuatan yang dilarang adalah perbuatan mentransmisikan, mendistribusikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi dan/atau dokumen elektronik bermuatan melanggar kesusilaan, dan bukan pada perbuatan kesusilaannya itu sendiri.
    3. Yang dimaksud “membuat dapat diaksesnya” adalah jika pelaku dengan sengaja membuat publik bisa melihat, menyimpan atau mengirimkan kembali konten melanggar kesusilaan tersebut. Contohnya dengan mengunggah konten di status media sosial, tweetretweet, membalas komentar, termasuk membuka ulang akses link atau konten bermuatan kesusilaan yang telah diputus aksesnya, tetapi dibuka kembali oleh pelaku sehingga bisa diakses orang banyak.

    Sebagai informasi, mengutip artikel DPR Beberkan 20 Perubahan dan Sisipan UU ITE Terbaru, Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (“RUU”) tentang perubahan kedua UU ITE dalam rapat paripurna. Dalam RUU Perubahan Kedua UU ITE (“RUU ITE”) yang telah disahkan oleh DPR, perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (1) berbunyi sebagai berikut:

    Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum.

     Unsur-unsur ketentuan tersebut dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 27 ayat (1) RUU ITE sebagai berikut:

    1. “Mendistribusikan” adalah mengirimkan dan/atau menyebarkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada banyak orang atau berbagai pihak melalui sistem elektronik.
    2. "Membuat dapat diakses” adalah semua perbuatan lain selain mendistribusikan dan mentransmisikan melalui sistem elektronik yang menyebabkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dapat diketahui pihak lain atau publik
    3. “Melanggar kesusilaan" adalah melakukan perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan. Penafsiran pengertian kesusilaan disesuaikan dengan standar yang berlaku pada masyarakat dalam waktu dan tempat tertentu (contemporary community standard). 
    4. “Diketahui umum” adalah untuk dapat atau sehingga dapat diakses oleh kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal.

     Selanjutnya, orang yang melanggar Pasal 27 ayat (1) RUU ITE berpotensi dipenjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (1) RUU ITE.

    Namun penting untuk diketahui, menurut Pasal 45 ayat (2) RUU ITE, perbuatan dalam Pasal 27 ayat (1) RUU ITE tidak dipidana dalam hal:

    1. dilakukan demi kepentingan umum;
    2. dilakukan untuk pembelaan atas dirinya sendiri; atau
    3. informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik tersebut merupakan karya seni, budaya, olahraga, kesehatan, dan/atau ilmu pengetahuan.

    Baca juga: Ini Bunyi Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang Dianggap Pasal Karet

    Jadi, menjawab pertanyaan Anda, apabila pria dan wanita sepakat atau saling memberikan persetujuan untuk pembuatan rekaman atau gambar pornografi, kemudian pria menyebarkannya, tetapi wanita sebelumnya tidak memberikan pernyataan tegas untuk melarang pria itu untuk menyebarluaskan atau mengungkap gambar dan video pornografi tersebut maka pihak wanita dapat terjerat tindak pidana penyebarluasan pornografi.

    Tetapi, jika pihak wanita sebelumnya telah memberikan pernyataan tegas bahwa ia setuju membuat video pornografi tetapi tidak mengizinkan pria untuk mengungkap atau menyebarkannya, maka wanita memiliki posisi yang lebih kuat untuk tidak dipersalahkan sebagai turut serta dalam penyebaran pornografi.

    Demikian juga apabila si wanita memang sejak awal tidak mengetahui adanya pembuatan foto atau video pornografi, atau tidak memberikan persetujuan pembuatan foto dan video pornografi tersebut, maka dalam hal ini, wanita dapat disebut sebagai korban penyebarluasan konten pornografi.

    Baca juga: Bisakah Konsumen VCS Dipidana?

    Contoh Kasus Penyebaran Gambar Pornografi Mantan Pacar

    Sebagai contoh kasus dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 6/Pid.Sus/2018/PN.Smn, di mana terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan dan dilakukan secara berlanjut” (hal. 37).

    Perbuatan tersebut dilakukan dengan cara menyebarkan video dan gambar pornografi mantan pacarnya (seperti foto telanjang, video sedang melakukan hubungan seksual dan melakukan onani) melalui sosial media seperti YouTube, WhatsApp dan Instagram tanpa persetujuan/izin dan tanpa sepengetahuan mantan pacarnya (hal. 30-31). Akibat perbuatannya terdakwa dihukum berdasarkan Pasal 45 jo. Pasal 27 ayat (1) UU 19/2016 jo. Pasal 64 KUHP dengan penjara selama 1 tahun dan 2 bulan, denda sebesar Rp500 juta subsider pidana kurungan selama 1 bulan (hal. 37).

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diubah kedua kalinya dengan RUU Perubahan Kedua UU ITE yang telah disahkan oleh DPR;
    3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi;
    4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    5. Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 229, 154, KB/2/VI/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

    Putusan:

    Putusan Pengadilan Negeri Sleman Nomor 6/Pid.Sus/2018/PN.Smn.

    Referensi:

    1. Josua Sitompul. Cyberspace, Cybercrimes, Cyberlaw: Tinjauan Aspek Hukum Pidana. Jakarta: Tatanusa, 2012;
    2. Shinta Agustina. Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Masalah-Masalah Hukum FH Universitas Diponegoro, Vol 44, No. 4, 2015.

    [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 

    [2] Shinta Agustina. Implementasi Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali dalam Sistem Peradilan Pidana. Jurnal Masalah-Masalah Hukum FH Universitas Diponegoro, Vol 44, No. 4, 2015, hal. 504

    [3] Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (“UU Pornografi”)

    [4] Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU Pornografi

    [5] Pasal 29 UU Pornografi

    [6] Penjelasan Pasal 6 UU Pornografi

    [7] Pasal 32 UU Pornografi

    [8] Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”)

    Tags

    pornografi
    informasi elektronik

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Akun Pay Later Anda Di-Hack? Lakukan Langkah Ini

    19 Jul 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!