Saya telah bekerja selama 1,5 tahun di sebuah perusahan Unit Pengolahan Ikan. Di perusahaan kami, ada peraturan (lisan) bahwa hari kerja adalah hari Sabtu hingga hari Kamis dan libur kantor adalah hari Jumat. Namun tidak ada PP dan PKB yang jelas dari perusahaan. Saya sebagai umat Kristiani ingin beribadah di hari Minggu pagi. Setelah saya tanyakan ke HRD, dari pihak perusahaan memaksakan untuk beribadah di gereja lain untuk kebaktian sore hari. Apakah boleh demikian? Terima kasih atas solusinya. Salam.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Intisari:
Waktu kerja di perusahaan yang Anda sebutkan adalah enam hari kerja dalam satu minggu sehingga istirahat mingguannya adalah satu hari, yakni Jumat. Keberlakuan hari libur seperti pada perusahaan tempat Anda bekerja pada prinsipnya dibenarkan karena undang-undang tidak mengatur secara rinci hari istirahat mingguan tersebut harus jatuh pada hari apa.
Namun, apabila ternyata hari libur mingguan itu dinilai bertentangan dengan hak Anda untuk beribadah, Anda dapat menyampaikan keberatan kepada pengusaha dan upaya-upaya lainnya. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pada dasarnya pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti kepada pekerja/buruh.[1] Waktu istirahat dan cuti ini salah satunya meliputi istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.[2]
Jadi, dari keterangan yang Anda berikan soal Sabtu hingga Kamis adalah waktu kerja dan Jumat adalah hari libur kantor, kami menyimpulkan bahwa waktu kerja di perusahaan itu adalah enam hari kerja dalam satu minggu sehingga istirahat mingguannya adalah satu hari, yakni Jumat.
Oleh karena itu, keberlakuan hari libur seperti pada perusahaan tempat Anda bekerja prinsipnya adalah dibenarkan saja karena undang-undang memang mengatur demikian. Namun bagaimana jika hari libur itu justru bertentangan dengan hak karyawan lainnya, yaitu hak melaksanakan ibadah?
Mengenai hak melaksanakan ibadah, perusahaan mempunyai kewajiban untuk memberikan kesempatan kepada pekerja untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agama si pekerja.[3]
:
Hak melaksanakan ibadah ini sebelumnya juga sudah termaktub dalam Pasal 28 E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”):
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Dengan demikian, telah menjadi hak Anda untuk beribadah di Gereja pada hari Minggu. Anda dapat menyampaikan keberatan kepada perusahaan bahwa Anda tetap ingin melaksanakan ibadah di Gereja pada Minggu pagi. Melalui langkah ini diharapkan perusahaan dapat memberikan jalan keluar untuk memindahkan hari libur Anda atau setidaknya memberikan kesempatan kepada Anda untuk beribadah di Minggu pagi kemudian kembali bekerja pada siang harinya.
Langkah Hukum
Memang ketentuan hari libur ini seperti yang Anda katakan, tidak tercantum dalam Perjanjian Kerja (“PK”), Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”), maupun Peraturan Perusahaan (“PP”). Namun, karena ini menyangkut hak Anda sebagai pekerja, maka perselisihan ini dikategorikan sebagai perselisihan hak. Pada dasarnya, jenis Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) itu meliputi:[4]
a.perselisihan hak;
b.perselisihan kepentingan;
c.perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
d.perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[5]
Jika memang ada perbedaan pendapat atau perselisihan antara pengusaha dengan pekerjanya, maka keduanya wajib menyelesaikannya terlebih dahulu melalui perundingan bipatrit,[6] yakni penyelesaian secara damai antara Anda sebagai pekerja dengan pengusaha.
Apabila perundingan bipartit ini gagal, maka penyelesaian kemudian ditempuh melalui jalur tripartit yaitu mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan. Kemudian di antara keduanya akan dilakukan penyelesaian secara mediasi (untuk perselisihan hak).[7]
Dalam hal perundingan di jalur tripartit ini masih tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.[8]
Langkah lain yang bisa dilakukan adalah dengan melaporkan permasalahan tersebut ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia.