Catatan tentang Problem Penerapan Delik Defamation dalam UU ITE

Catatan tentang Problem Penerapan Delik Defamation dalam UU ITE

Kapolri melalui surat telegramnya telah memberikan pedoman penanganan hukum cybercrime kepada penyidik Polri yang salah satunya menyebutkan kasus pencemaran nama baik, fitnah, atau penghinaan diselesaikan dengan cara restorative justice.
Catatan tentang Problem Penerapan Delik Defamation dalam UU ITE

Penggunaan ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) terus menarik perhatian publik. Selain sejumlah kasus yang sudah diputus pengadilan dan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), diskursus ketentuan pidana dalam UU ITE kembali muncul seiring penggunaan ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ini dalam kasus dugaan tindakan pencemaran nama baik (defamation) terhadap salah satu menteri yang diduga dilakukan oleh dua orang aktivis melalui percakapan di salah satu akun media sosial.

Diskursus mengenai hal ini terus mengemuka seiring penerapan ketentuan Pasal 27 ayat (3) yang dikenakan terhadap setiap orang yang diduga menyampaikan pendapat dan pandangannya melalui platform media sosial. Beberapa penelitian telah mengungkap bagaimana penerapan Pasal 27 ayat (3) oleh aparat penegak hukum dalam menangani laporan dugaan pencemaran nama baik. Dampak yang paling terang dirasakan dalam penerapan Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah terbatasnya kebebasan berpendapat masyarakat terutama dalam beropini dan memberikan kritik terhadap pemerintah.

Yosephus Mainake dan Luthvi Febryka Nola dalam penelitiannya berjudul Dampak Pasal-Pasal Multitafsir dalam Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengungkapkan, sejumlah dampak yang timbul seperti adanya kesewenang-wenangan karena penegak hukum dalam menentukan orang yang tersandung UU ITE bersalah dan layak dipidana, tanpa memilah dan memilih unsur pasal mana yang dilanggar. Selain itu yang juga sering dirasakan adalah ketentuan pidana UU ITE menjadi instrumen yang digunakan sebagian kelompok dalam rangka membalas dendam bahkan menjebak lawan politik.

Hal ini yang menimbulkan kesan bahwa penggunaan Pasal 27 ayat (3) UU ITE telah mengakibatkan terjadinya overkriminalisasi. Fairus Agustina Rachmawati dan Januari Nasya Ayu Taduri dalam Implikasi Pasal Multitafsir UU ITE Terhadap Unsur Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik pernah mengungkap, sepanjang tahun 2014-2020 terdapat sekitar 2.238 kasus penghinaan dan pencemaran nama baik yang dibawa ke hadapan pengadilan. Salah satu contoh kasus yang juga menyita perhatian publik pada tahun 2008 yang menjerat Prita Mulyasari terkait dugaan penghinaan dan pencemaran nama baik dalam Pelayanan Kesehatan di RS Omni International.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional