Simaklah kisah tentang dua perusahaan yang berseteru ini. Yang satu, sebut saja Perseroan Terbatas A, adalah perusahaan yang bergerak di bidang pertanian, termasuk agroindustri. Yang satu lagi, sebut saja Perseroan Terbatas B, bergerak di bidang tambang. Kepentingan kedua perusahaan bertemu ketika PT B membutuhkan akses jalan untuk pengangkutan tambang batubara. Kebetulan, PT A memiliki izin penggunaan jalan angkutan kayu melalui kawasan hutan negara, biasanya disebut koridor. Maka, kedua perusahaan bersepakat yang dituangkan dalam perjanjian: PT B boleh menggunakan jalan koridor dengan memberikan kompensasi kepada PT A.
Bagi PT B, pilihan mengunakan jalan koridor bisa menghemat waktu dan biaya. Sebab, tak perlu membuka jalan baru, potensi konflik dengan pemilik lahan untuk pembebasan jalan diminimalisasi, dan tidak perlu memikirkan pengeluaran tambahan untuk jalan. Tentu saja, bagi PT A, ada penerimaan sebesar 4 dolar AS per ton angkutan batubara yang melewati jalan koridor. Hak dan kewajiban masing-masing dituangkan dalam perjanjian, termasuk batas waktu toleransi penundaan kewajiban. Jadilah sebuah perjanjian penggunaan koridor melalui kawasan hutan negara.
Benih-benih sengketa muncul ketika toleransi atas keterlambatan pembayaran kewajiban terlewati. PT A menutup akses jalan setelah PT B tak memenuhi kewajibannya. Melalui surat, PT B tak membantah tunggakan pembayaran kompensasi penggunaan jalan koridor. Namun, belakangan muncul surat dari kuasa hukum perseroan terbatas lain yang menegaskan PT B tak bersedia membayar kompensasi itu dengan merujuk pada Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Lantaran tidak menemukan titik terang, meskipun sempat dimediasi kepolisian dan Kementerian Kehutanan, hubungan kontraktual kedua perusahaan bermuara ke pengadilan.
A melayangkan gugatan dan meminta B memenuhi kewajibannya sesuai perjanjian yang diteken kedua belah pihak (Perjanjian 3 Juli). Total kewajiban yang dituntut lebih dari 13 juta dolar AS, plus 10 juta dolar AS kerugian immaterial. Tergugatan gugatan itu, PT B membela diri dengan menyatakan bahwa PT A tidak berhak memungut kompensasi jalan di atas lahan negara, apalagi jika pembayarannya dilakukan ke rekening perusahaan yang ada di luar negeri (British Virgin Island). Jalan koridor yang menjadi objek perjanjian adalah milik negara, sehingga penggugat tidak berhak meminta kompensasi. B meminta perjanjian dibatalkan dan menuntut A mengembalikan kompensasi yang sudah terlanjur dibayarkan.