Perintah jabatan itu sendiri secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu perintah yang telah diberikan oleh seorang atasan, di mana kewenangan untuk memerintah semacam itu bersumber pada suatu ambtelijk positie atau suatu kedudukan menurut jabatan, baik dari orang yang memberikan perintah maupun dari orang yang menerima perintah.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Perintah jabatan itu sendiri secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu perintah yang telah diberikan oleh seorang atasan, di mana kewenangan untuk memerintah semacam itu bersumber pada suatu ambtelijk positie atau suatu kedudukan menurut jabatan, baik dari orang yang memberikan perintah maupun dari orang yang menerima perintah.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Ambtelijk Bevel
Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Terdakwa Korupsi Lolos Karena Pasal 51 (1) KUHP, Pasal 51Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”) dikenal sebagai klausul perintah jabatan (ambtelijk bevel). Pasal ini sering digunakan sebagai alasan untuk menghapus pidana terhadap terdakwa (exemption from liability). Bunyi selengkapnya Pasal 51 ayat (1) KUHP adalah sebagai berikut:
Barang siapa melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang berhak akan itu, tidak boleh dihukum.
Perintah jabatan yang diberikan oleh kuasa yang tidak berhak tidak membebaskan dari hukuman, kecuali jika pegawai yang di bawahnya atas kepercayaannya memandang bahwa perintah itu seakan-akan diberikan kuasa yang berhak dengan sah dan menjalankan perintah itu menjadi kewajiban pegawai yang di bawah perintah tadi.
Masih bersumber dari artikel yang sama, dalam bahasa Belanda, rumusan Pasal 51 ayat (1) KUHP ini adalah ‘Niet strafbaar is hij die een feit begaat ter uitvoering van een ambtelijk bevel, gegeven door het daartoe bevoegde gezag’.
Menurut Lamintang dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (hal. 525), perkataan ambtelijk bevel atau “perintah jabatan” itu sendiri secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu perintah yang telah diberikan oleh seorang atasan, di mana kewenangan untuk memerintah semacam itu bersumber pada suatu ambtelijk positie atau suatu kedudukan menurut jabatan, baik dari orang yang memberikan perintah maupun dari orang yang menerima perintah.
Jadi ambtelijk bevel itu adalah klausul perintah jabatan yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP.
Lebih lanjut mengenai penjelasan Pasal 51 KUHP ini, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 67) menjelaskan bahwa untuk dapat dipidana dengan pasal tersebut, maka harus dipenuhi beberapa syarat yaitu:
Bahwa orang itu melakukan perbuatan atas suatu perintah jabatan. Antara pemberi perintah dengan orang yang diperintah harus ada perhubungan yang bersifat kepegawaian Negeri, bukan pegawai partikelir. Tidak perlu bahwa yang diberi perintah itu harus orang bawahan dari yang memerintah. Mungkin sama pangkatnya, tetapi yang perlu ialah bahwa antara yang diperintah dengan yang memberi perintah ada kewajiban untuk menaati perintah itu.
Perintah harus diberikan oleh kuasa yang berhak untuk memberikan perintah itu. Jika kuasa tersebut tidak berhak untuk itu, maka orang yang menjalankan perintah tadi tetap dapat dihukum atas perbuatan yang telah dilakukannya, kecuali jika orang itu dengan itikad baik mengira bahwa perintah tersebut sah dan diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu. Jika demikian, menurut ayat (2) dari pasal ini, orang itu tidak dapat dihukum.
Pendapat Ahli Mengenai Ambtelijk Bevel
Menurut Lamintang, perkataan-perkataan yang telah dipergunakan oleh pembentuk undang-undang, khususnya untuk merumuskan ketentuan pidana dalam Pasal 51 ayat (2) KUHP itu dapat menimbulkan kesan seolah-olah ketentuan pidana seperti yang telah diatur dalam Pasal 51 KUHP tersebut hanyalah mengatur masalah pemberian perintah kepada seorang “ondergeschikte” atau kepada seorang bawahan saja.[1]
Masih bersumber dari buku yang ditulis oleh Lamintang, Profesor Simons mengatakan:[2]
Adalah tidak perlu bahwa perintah itu harus diberikan kepada seseorang bawahan saja, melainkan ia juga dapat diberikan kepada orang-orang lain, dan selama perintah seperti itu telah diberikan berdasarkan undang-undang, maka hal dapat dihukumnya perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan perintah tersebut menjadi ditiadakan.
Undang-Undang mensyaratkan bahwa perintah itu haruslah bersifat “ambtelijk” yang berarti harus diberikan berdasarkan suatu ambt atau suatu jabatan kepada orang-orang bawahan, yakni kepada pegawai-pegawai negeri dan kepada lain-lain orang.
Dari rumusan Pasal 51 KUHP di atas dapat kita ketahui bahwa undang-undang telah mensyaratkan bahwa “perintah jabatan” itu haruslah diberikan oleh “hel bevoegde gezag” atau oleh “kekuasaan yang berwenang” untuk mengeluarkan perintah semacam itu.[4]