Ada kasus penganiayaan di mana korbannya mempunyai sakit jiwa (gila). Apakah pelakunya dapat dihukum dan apakah orang gila bisa jadi saksi?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Dalam hukum acara pidana, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Apabila korban penganiayaan adalah orang yang sakit jiwa (gila), lalu apakah orang gila bisa jadi saksi?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat olehShanti Rachmadsyah, S.H.dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 22 Juni 2010.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Tiada Pidana Tanpa Kesalahan
Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda tentang apakah orang gila bisa jadi saksi?Dalam hal pertanggungjawaban pidana, terdapat adagium “actus non facit reum, nisi mens sit rea” atau dalam bahasa Belanda dikenal dengan “geen straf zonder schuld” yang diterjemahkan menjadi “tiada pidana tanpa kesalahan”. Makna adagium tersebut adalah untuk menjatuhkan sanksi pidana kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut.
Prinsip ini tidak secara tegas tercantum dalam rumusan pasal, akan tetapi diakui dan dianut dalam KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku serta diatur secara eksplisit dalam UU 1/2023yang berlaku 3 tahun sejak diundangkan[1] yaitu tahun 2026 dengan rumusan berikut ini.
Pasal 44 ayat (1) KUHP
Pasal 36 ayat (1) UU 1/2023
Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
Setiap orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan.
Jadi, menjawab pertanyaan Anda, sepanjang kesalahan pelaku dapat dibuktikan, ia tetap dapat dihukum dan dikenai sanksi pidana. Sehingga, kondisi korban yang sakit jiwa atau gila tidak menjadi masalah.
Alat Bukti dalam Acara Pidana
Dalam Pasal 183 KUHAP berbunyi hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Yang dimaksud sebagai alat bukti yang sah adalah sebagai berikut.[2]
keterangan saksi;
keterangan ahli;
surat;
petunjuk;
keterangan terdakwa.
Makna alat bukti yang sah tersebut adalah alat bukti yang memiliki hubungan dengan perbuatan atau tindak pidana yang dilakukan. Hal ini bertujuan untuk memberikan keyakinan kepada hakim atas kebenaran tindak pidana yang dilakukan, karena pada dasarnya pembuktian dalam perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil atau kebenaran yang sesungguhnya.
Dalam pertanyaan, Anda menyinggung terkait keterangan saksi. Meskipun keterangan saksi menjadi urutan yang pertama dalam pembuktian, tetap diperlukan alat bukti lainnya. Patut dicatat, tidak ada ketentuan yang mewajibkan untuk menggunakan alat bukti keterangan saksi. Sehingga, selama hakim mendapatkan keyakinan bahwa terdakwa melakukan suatu tindak pidana yang disertai dengan dua alat bukti, hal itu sudah cukup.
Hal ini didukung pula dengan Pasal 185 ayat (2) dan (3)KUHAP yang berbunyi:
…
Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya;
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya;
Artinya, keterangan satu orang saksi jika disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan. Ini semakin menegaskan terkait pemenuhan minimal dua alat bukti.
Selain itu, Pasal 189 ayat (4)KUHAP juga menyatakan keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.
Oleh karena itu, hakim dapat menjatuhkan pidana kepada terdakwa bahkan tanpa alat bukti keterangan saksi, tetapi tetap harus memenuhi minimal dua alat bukti lainnya dan disertai dengan keyakinan hakim. Jadi, seandainya korban tersebut tidak dijadikan sebagai saksi dalam persidangan, hakim tetap dapat menjatuhkan putusan selama memenuhi minimal dua alat bukti lainnya disertai dengan keyakinan hakim.
Apakah Orang Gila Bisa Jadi Saksi?
Selanjutnya, apakah orang gila bisa jadi saksi? Sebenarnya ada pengelompokan orang yang tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi, yaitu diatur dalam Pasal 168 KUHAP:
keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Berdasarkan pasal tersebut, menjawab pertanyaan tentang apakah orang gila bisa jadi saksi? Sesungguhnya tidak ada yang menyebutkan saksi yang mengalami sakit jiwa (gila) termasuk orang yang tidak dapat didengar keterangannya sebagai saksi.
Lebih lanjut, dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.[3]
Artinya, dalam hal ini hakim berhak menentukan apakah seseorang dapat didengar keterangannya atau tidak, termasuk saksi yang menderita sakit jiwa (gila) itu bisa didengar keterangannya atau tidak bergantung pada penilaian hakim.
Di sisi lain, Pasal 171 KUHAP mengatur yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah:
anak yang umurnya belum cukup 15 tahun dan belum pernah kawin;
orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali.
Hal ini dikarenakan saksi yang memiliki gangguan jiwa itu tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana, sehingga mereka boleh tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangannya hanya dipakai sebagai petunjuk saja.[4]
Dengan demikian, jika ditanya apakah orang gila bisa jadi saksi?Hakim yang berwenang untuk menentukan apakah seseorang mengalami sakit jiwa (gila). Selain itu, orang yang mengalami sakit jiwa masih dapat dimungkinkan untuk memberikan keterangan saksi di persidangan, walaupun tidak dapat dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dan hanya dipakai sebagai petunjuk saja.
Demikian jawaban dari kami tentang apakah orang gila bisa jadi saksi seperti yang ditanyakan, semoga bermanfaat.