Intisari :
Setiap orang dilarang membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap pangan yang pengadaannya dalam jumlah besar dan lazim dikemas kembali dalam jumlah kecil untuk diperdagangkan lebih lanjut. Setiap orang yang mengemas kembali pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan pengemasan pangan secara benar untuk menghindari terjadinya pencemaran terhadap pangan.
Jalan terbaik yang dapat Anda lakukan agar terhindar dari masalah hukum dan risiko kerugian bisnis yang lebih besar adalah melakukan kerjasama dengan perusahaan yang memproduksi tepung. Biasanya perusahaan besar demikian memiliki produk-produk atau cara sendiri untuk bekerja sama dalam hal memasarkan tepung produksi mereka. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Dalam menjalankan usahanya, seorang pelaku usaha tentunya terikat pada aturan-aturan dan hukum yang berlaku termasuk pula perijinannya. Aturan-aturan tersebut saling terkait satu sama lain sehingga apabila ada satu aturan yang dilanggar, maka dari sisi bisnis tentunya berisiko mendatangkan kerugian.
Salah satu hukum yang mengatur mengenai pelaku usaha adalah
Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU PK”). Dalam Pasal 1 angka 3 UU PK, yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
Dalam kegiatan ekonomi ada konsumen. UU PK memaknai konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
[1] Kalimat ‘tidak untuk diperdagangkan’ mengandung pengertian bahwa yang dimaksud dengan konsumen adalah konsumen akhir atau benar-benar pemakai barang bukan untuk yang diperdagangkan lagi.
Pasal 8 ayat (1) huruf d UU PK mengatur mengenai larangan pelaku usaha untuk memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.
Dalam penjelasan Anda di atas tidak disebutkan apakah tepung yang Anda kemas ulang dengan kemasan dan label Anda sendiri itu benar-benar hanya tepung itu saja atau tepung yang sudah Anda olah lagi menjadi bumbu khusus. Akan tetapi apabila Anda ingin memperdagangkan tepung tadi dengan kemasan dan label Anda sendiri tentunya barang yang dikemas haruslah sesuai dengan kemasan dan label yang menyertai barang tersebut.
Setiap orang dilarang membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan.
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap pangan yang pengadaannya dalam jumlah besar dan lazim dikemas kembali dalam jumlah kecil untuk diperdagangkan lebih lanjut.
Setiap orang yang mengemas kembali pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan pengemasan pangan secara benar untuk menghindari terjadinya pencemaran terhadap pangan.
Kemudian pada Pasal 21 angka (1) PP 28/2004 juga diatur bahwa setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan bertanggung jawab menyelenggarakan sistem jaminan mutu sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi.
Oleh karena itu, Pemerintah kemudian mengatur juga mengenai pemberian sertifikat produksi pangan industri rumah tangga melalui
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.03.1.23.04.12.2205 tahun 2012 tentang Pedoman Pemberian Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (“Perka BPOM SPP-IRT”). Peraturan ini mewajibkan pelaku usaha di bidang makanan industri rumah tangga memiliki izin yang disebut dengan Sertifikat Produksi Pangan Industri Rumah Tangga, yang selanjutnya disingkat SPP-IRT. SPP-IRT adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh bupati/walikota terhadap angan produksi industri rumah tangga pangan (“Pangan Produksi IPRT”) di wilayah kerjanya yang telah memenuhi persyaratan pemberian SPP-IRT dalam rangka peredaran Pangan Produksi IPRT.
[2] Jadi, apabila Anda tidak memenuhi syarat-syarat yang diperlukan untuk memperoleh izin untuk melakukan usaha pangan industri rumah tangga, maka tentu saja Anda tidak dapat menjalankan bisnis Anda.
Dari sisi perlindungan kekayaan intelektual hak merek sendiri memang tidak secara spesifik mengatur mengenai penggunaan merek Anda pada barang produksi orang lain.
Dalam salah satu Publikasi
WIPO yang telah diterjemahkan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual disebutkan fungsi utama dari suatu merek adalah sebagai berikut.
Merek memiliki empat fungsi, yaitu:
Untuk membedakan barang atau jasa dari suatu entitas dengan entitas lain. Merek memfasilitasi pilihan konsumen saat membeli barang tertentu.
Merek membedakan kualitas barang atau jasa tertentu yang digunakan sehingga konsumen dapat bergantung pada konsistensi kualitas barang yang ditawarkan melalui suatu merek.
Merek dimaksudkan untuk menunjukkan identitas penghasil produk barang atau jasa yang dipasarkan.
Merek dipakai untuk mempromosikan pemasaran dan penjualan produk. Merek juga dimaksudkan untuk menarik konsumen, membuat perhatian, dan memberikan rasa percaya diri.
Pemilik merek terdaftar memiliki hak eksklusif yang berkaitan dengan mereknya. Hal ini memberikan kepadanya hak untuk menggunakan merek tersebut dan mencegah pihak ketiga yang tidak sah, menggunakan merek tersebut, atau merek serupa yang membingungkan. Merek juga mencegah konsumen dan publik dari kerancuan akan suatu produk.
Membaca pertanyaan Anda, saya teringat pada istilah “private label” dan “white label”. Pada perusahaan ‘private label’ produk yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut dijual kepada pihak tertentu dan perusahaan tersebut dapat mengubah serta mengembangkannya dan melabeli produk dengan merek mereka sendiri. Sedangkan pada ‘white label’, produk yang dijual oleh perusahaan kepada banyak pihak yang kemudian dikemas ulang dan diberi merek mereka sendiri tidak boleh diubah/dikembangkan.
Dalam kasus yang Anda ceritakan di atas tampaknya berbeda. Apabila Anda menggunakan tepung bermerek yang bukan mengkhususkan produknya bagi ‘private label’ atau ‘white label’, Anda membutuhkan izin dari pemilik merek. Hal ini dikarenakan perlindungan kekayaan intelektual yang ada pada tepung tersebut mungkin saja mencakup perlindungan kekayaan intelektual yang lain seperti Rahasia Dagang.
Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda secara keseluruhan, jalan terbaik yang dapat Anda lakukan agar terhindar dari masalah hukum dan risiko kerugian bisnis yang lebih besar adalah melakukan kerjasama dengan perusahaan yang memproduksi tepung. Biasanya perusahaan besar demikian memiliki produk-produk atau cara sendiri untuk bekerja sama dalam hal memasarkan tepung produksi mereka.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
[1] Pasal 1 angka 2 UU PK
[2] Pasal 1 angka 13 Perka BPOM SPP-IRT