Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Ibu Bunuh Anak di Brebes, Bagaimana Hukumnya? yang dibuat oleh Erizka Permatasari, S.H., dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 4 April 2022.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
klinik Terkait:
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pasal untuk Menjerat Pelaku Pembunuhan
Pada prinsipnya ibu bunuh anak sebagaimana ditanyakan atau pelaku pembunuhan secara umum dapat dijerat dengan pasal pembunuhan.
Adapun hukuman pidana bagi pelaku tertuang dalam ketentuan Pasal 338 KUHP yang lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan serta Pasal 458 UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[1] yakni pada tahun 2026 yaitu sebagai berikut.
KUHP | UU 1/2023 |
Pasal 338 Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun. | Pasal 458 ayat (1) dan (2)
|
Perlu diketahui bahwa untuk dapat dijerat dengan pasal pembunuhan, maka unsur “sengaja merampas nyawa orang lain” harus terpenuhi.
berita Terkait:
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kesengajaan menurut memorie van toelichting yaitu “menghendaki dan menginsyafi” terjadinya suatu tindakan beserta akibatnya.[2] Jika dalam suatu perumusan tindak pidana digunakan istilah dengan sengaja, menurut doktrin harus ditafsirkan secara luas. Jadi, menghendaki dan menginsyafi tidak hanya berarti apa yang betul-betul dikehendaki dan/atau diinsyafi oleh pelaku, tetapi juga hal-hal yang mengarah atau berdekatan dengan kehendak atau keinsyafan itu.[3]
Unsur kesengajaan dianggap ada jika pelaku telah mempunyai pengharapan tertentu (stellige verwachting) bahwa matinya seseorang itu adalah seharusnya sebagai akibat dari perbuatannya. Kesengajaan telah dinyatakan jika pelaku seharusnya dapat mengetahui bahwa suatu tusukan membahayakan jiwa seseorang dan sangat mungkin mengakibatkan matinya orang tersebut.[4]
Hal ini juga ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 458 ayat (1) UU 1/2023 bahwa pembunuhan selalu diartikan bahwa korban harus mati dan kematian tersebut dikehendaki pelaku. Dengan demikian, pengertian pembunuhan secara implisit mengandung unsur kesengajaan. Jika tidak ada unsur kesengajaan atau tidak ada niat/maksud untuk mematikan orang, tetapi ternyata orang tersebut mati, perbuatan tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai pembunuhan.
Percobaan Pembunuhan
Dalam hal korban tidak sampai meninggal, baik dalam kasus ibu bunuh anak atau kasus lainnya, tersangka dapat dijerat atas percobaan pembunuhan yang diatur dalam Pasal 53 jo. Pasal 338 KUHP dan Pasal 17 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 458 UU 1/2023 Untuk dapat dijerat dengan percobaan pembunuhan, ada sejumlah syarat yang harus terpenuhi, antara lain:
KUHP | UU 1/2023 |
|
|
Pertanggungjawaban Pidana Orang Sakit Jiwa
Penting untuk diketahui bahwa meski unsur-unsur dalam rumusan pasal terpenuhi, belum tentu orang yang melakukan tindak pidana tersebut dipidana.[5] Sebab, orang hanya akan dipidana jika ia mempunyai pertanggungjawaban pidana.[6]
Menurut Simons, dasar dari pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dan hubungannya (kesalahan itu) dengan kelakuannya yang dapat dipidana. Untuk mengatakan adanya kesalahan pada pelaku, harus dicapai dan ditentukan terlebih dahulu beberapa hal yang menyangkut pelaku, yaitu:[7]
- Kemampuan bertanggung jawab (toerekenings-vatbaarheid);
- Hubungan kejiwaan (psichologische betrekking) antara pelaku, kelakuannya, dan akibat yang ditimbulkan (termasuk pula kelakuan yang tidak bertentangan dengan hukum dalam kehidupan sehari-hari); dan
- Dolus atau culpa.
Dalam KUHP sendiri diatur beberapa kondisi yang memungkinkan seseorang pelaku tindak pidana tidak dipidana jika memenuhi kondisi-kondisi tertentu, salah satu kondisinya yaitu gangguan jiwa.
KUHP | UU 1/2023 |
Pasal 44 ayat (1) dan (2)
| Pasal 38 Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan.
Pasal 39 Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan. |
Berdasarkan kronologi yang Anda sampaikan, kami asumsikan bahwa ibu bunuh anak tersebut dalam kondisi gangguan jiwa/disabilitas mental.
Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 38 UU 1/2023 diterangkan bahwa yang dimaksud dengan disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:
- psikososial, antara lain skizofrenia, bipolar, depresi, anxiety, dan gangguan kepribadian; dan
- disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial, antara lain, autis dan hiperaktif.
Berbeda dengan Pasal 38 UU 1/2023 di mana disabilitas mental ‘dapat dikurangi pidananya,’ Pasal 39 UU 1/2023 adalah kondisi penyandang disabilitas mental yang tidak dapat dipidana. Menurut Penjelasan Pasal 39 UU 1/2023 penyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik tidak mampu bertanggung jawab. Untuk dapat menjelaskan tidak mampu bertanggung jawab dari segi medis, perlu dihadirkan ahli sehingga pelaku tindak pidana dinilai tidak mampu bertanggung jawab.
Dengan demikian, untuk mengetahui apakah pelaku, dalam konteks ini, pelaku kasus ibu bunuh anak, dapat dimintakan pertanggungjawaban, harus diperiksa dahulu kondisi kejiwaannya. Apabila benar kondisi si pelaku ibu bunuh anak memenuhi kriteria sebagai sakit jiwa atau disabilitas mental, maka terhadapnya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan konsekuensinya, ia lepas dari tuntutan hukum.
Demikian jawaban dari kami terkait kasus ibu bunuh anak, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Referensi:
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2012.
[2] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2012, hal. 167
[3] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2012, hal. 182
[4] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2012, hal. 182
[5] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2012, hal. 163
[6] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2012, hal. 166
[7] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2012, hal. 162