Ibu Bunuh Anak karena Gangguan Jiwa, Bagaimana Hukumnya?
Pidana

Ibu Bunuh Anak karena Gangguan Jiwa, Bagaimana Hukumnya?

Bacaan 7 Menit

Pertanyaan

Beberapa waktu lalu viral diberitakan seorang ibu bunuh tiga anak kandung dengan cara menggorok lehernya, yang mana 1 dari 3 anak tersebut kemudian meninggal dunia dengan sayatan di leher. Di suatu video yang tersebar, ibu tersebut mengatakan bahwa ia sengaja membunuh anak-anaknya untuk menyelamatkan mereka, agar mereka tidak merasa sedih dan tidak merasakan sakit seperti yang ia alami saat dulu masih kecil. Secara hukum, bagaimana pertanggungjawaban pidana dari ibu bunuh anak di Brebes tersebut?

Intisari Jawaban

circle with chevron up

Pada prinsipnya, kasus ibu bunuh anak dapat dijerat menggunakan pasal pembunuhan yaitu Pasal 338 KUHP atau Pasal 458 UU 1/2023 tentang KUHP yang baru berlaku 3 tahun lagi setelah diundangkan yaitu 2026. Adapun jika korban tidak sampai meninggal, pelaku dapat dijerat atas percobaan pembunuhan.

Lantas, apakah ibu bunuh anak karena gangguan jiwa atau disabilitas mental dapat dikenai pasal pembunuhan atau percobaan pembunuhan?

 

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

Ulasan Lengkap

 

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Ibu Bunuh Anak di Brebes, Bagaimana Hukumnya? yang dibuat oleh Erizka Permatasari, S.H., dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 4 April 2022.

 

Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

 

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

 

Pasal untuk Menjerat Pelaku Pembunuhan

Pada prinsipnya ibu bunuh anak sebagaimana ditanyakan atau pelaku pembunuhan secara umum dapat dijerat dengan pasal pembunuhan.

Adapun hukuman pidana bagi pelaku tertuang dalam ketentuan Pasal 338 KUHP yang lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan serta Pasal 458 UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[1] yakni pada tahun 2026 yaitu sebagai berikut.

KUHP

UU 1/2023

Pasal 338

Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.

Pasal 458 ayat (1) dan (2)

  1. Setiap orang yang merampas nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.
  2. Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan terhadap ibu, ayah, istri, suami, atau anaknya, pidananya ditambah 1/3.

Perlu diketahui bahwa untuk dapat dijerat dengan pasal pembunuhan, maka unsur “sengaja merampas nyawa orang lain” harus terpenuhi.

Dalam hal ini, yang dimaksud dengan kesengajaan menurut memorie van toelichting yaitu “menghendaki dan menginsyafi” terjadinya suatu tindakan beserta akibatnya.[2] Jika dalam suatu perumusan tindak pidana digunakan istilah dengan sengaja, menurut doktrin harus ditafsirkan secara luas. Jadi, menghendaki dan menginsyafi tidak hanya berarti apa yang betul-betul dikehendaki dan/atau diinsyafi oleh pelaku, tetapi juga hal-hal yang mengarah atau berdekatan dengan kehendak atau keinsyafan itu.[3]

Unsur kesengajaan dianggap ada jika pelaku telah mempunyai pengharapan tertentu (stellige verwachting) bahwa matinya seseorang itu adalah seharusnya sebagai akibat dari perbuatannya. Kesengajaan telah dinyatakan jika pelaku seharusnya dapat mengetahui bahwa suatu tusukan membahayakan jiwa seseorang dan sangat mungkin mengakibatkan matinya orang tersebut.[4]

Hal ini juga ditegaskan dalam Penjelasan Pasal 458 ayat (1) UU 1/2023 bahwa pembunuhan selalu diartikan bahwa korban harus mati dan kematian tersebut dikehendaki pelaku. Dengan demikian, pengertian pembunuhan secara implisit mengandung unsur kesengajaan. Jika tidak ada unsur kesengajaan atau tidak ada niat/maksud untuk mematikan orang, tetapi ternyata orang tersebut mati, perbuatan tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai pembunuhan.

 

Percobaan Pembunuhan

Dalam hal korban tidak sampai meninggal, baik dalam kasus ibu bunuh anak atau kasus lainnya, tersangka dapat dijerat atas percobaan pembunuhan yang diatur dalam Pasal 53 jo. Pasal 338 KUHP dan Pasal 17 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 458 UU 1/2023  Untuk dapat dijerat dengan percobaan pembunuhan, ada sejumlah syarat yang harus terpenuhi, antara lain:

KUHP

UU 1/2023

  1. Niat sudah ada untuk berbuat kejahatan itu;
  2. Adanya permulaan pelaksanaan; dan
  3. Perbuatan kejahatan itu tidak jadi sampai selesai, oleh karena terhalang oleh sebab-sebab yang timbul kemudian, bukan karena kemauan si pelaku.
  1. Adanya niat pelaku;
  2. Adanya permulaan pelaksanaan dari tindak pidana yang dituju, yaitu perbuatan tersebut diniatkan/ditujukan dan berpotensi menimbulkan terjadinya tindak pidana.
  3. Pelaksanaannya tidak selesai, tidak mencapai hasil atau tidak menimbulkan akibat yang dilarang, bukan karena kehendak pelaku.

 

Pertanggungjawaban Pidana Orang Sakit Jiwa

Penting untuk diketahui bahwa meski unsur-unsur dalam rumusan pasal terpenuhi, belum tentu orang yang melakukan tindak pidana tersebut dipidana.[5] Sebab, orang hanya akan dipidana jika ia mempunyai pertanggungjawaban pidana.[6]
Menurut Simons, dasar dari pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan yang terdapat pada jiwa pelaku dan hubungannya (kesalahan itu) dengan kelakuannya yang dapat dipidana. Untuk mengatakan adanya kesalahan pada pelaku, harus dicapai dan ditentukan terlebih dahulu beberapa hal yang menyangkut pelaku, yaitu:[7]

  1. Kemampuan bertanggung jawab (toerekenings-vatbaarheid);
  2. Hubungan kejiwaan (psichologische betrekking) antara pelaku, kelakuannya, dan akibat yang ditimbulkan (termasuk pula kelakuan yang tidak bertentangan dengan hukum dalam kehidupan sehari-hari); dan
  3. Dolus atau culpa.

Dalam KUHP sendiri diatur beberapa kondisi yang memungkinkan seseorang pelaku tindak pidana tidak dipidana jika memenuhi kondisi-kondisi tertentu, salah satu kondisinya yaitu gangguan jiwa.

KUHP

UU 1/2023

Pasal 44 ayat (1) dan (2)

  1. Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.
  2. Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa maksimal 1 tahun sebagai waktu percobaan.

 

Pasal 38

Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental dan/atau disabilitas intelektual dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan.

 

Pasal 39

Setiap orang yang pada waktu melakukan tindak pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.

 

Berdasarkan kronologi yang Anda sampaikan, kami asumsikan bahwa ibu bunuh anak tersebut dalam kondisi gangguan jiwa/disabilitas mental.

Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 38 UU 1/2023 diterangkan bahwa yang dimaksud dengan disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:

  1.  
  2. psikososial, antara lain skizofrenia, bipolar, depresi, anxiety, dan gangguan kepribadian; dan
  3. disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial, antara lain, autis dan hiperaktif.

Berbeda dengan Pasal 38 UU 1/2023 di mana disabilitas mental ‘dapat dikurangi pidananya,’ Pasal 39 UU 1/2023 adalah kondisi penyandang disabilitas mental yang tidak dapat dipidana. Menurut Penjelasan Pasal 39 UU 1/2023 penyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik tidak mampu bertanggung jawab. Untuk dapat menjelaskan tidak mampu bertanggung jawab dari segi medis, perlu dihadirkan ahli sehingga pelaku tindak pidana dinilai tidak mampu bertanggung jawab.

Dengan demikian, untuk mengetahui apakah pelaku, dalam konteks ini, pelaku kasus ibu bunuh anak, dapat dimintakan pertanggungjawaban, harus diperiksa dahulu kondisi kejiwaannya. Apabila benar kondisi si pelaku ibu bunuh anak memenuhi kriteria sebagai sakit jiwa atau disabilitas mental, maka terhadapnya tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dan konsekuensinya, ia lepas dari tuntutan hukum.

 

Demikian jawaban dari kami terkait kasus ibu bunuh anak, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

    1.  
  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

 

Referensi:
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2012.


[2] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2012, hal. 167

[3] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2012, hal. 182

[4] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2012, hal. 182

[5] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2012, hal. 163

[6] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2012, hal. 166

[7] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Penerbit Storia Grafika, 2012, hal. 162

Tags: