Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Melihat kasus di atas, tidak ada dasar hukum yang mengatur bahwa
developer bisa memaksa pembeli untuk membeli tanah atau satuan rumah susun. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1457
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak penjual mengikatkan dirinya untuk menyerahkan sesuatu barang/benda, dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga. Karena sejatinya dalam perjanjian jual beli selalu ada subjek hukum (penjual dan pembeli), adanya kesepakatan dari para pihak dan adanya hak dan kewajiban yang timbul antara penjual dan pembeli.
Berikut di dalam Pasal 1458 KUH Perdata dijelaskan bahwa jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai kata sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang ini belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar. Unsur kesepakatan dalam perjanjian jual beli menujukkkan bahwa jika telah terjadi kesepakatan mengenai harga dan barang namun ada hal lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, perjanjian jual beli tetap tidak terjadi karena tidak adanya kesepakatan. Hal ini akan berbeda jika kemudian para pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, hal-hal yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan undang-undang bagi para pihak dan ini sebagai unsur naturalia dalam unsur-unsur perjanjian. Adapun unsur naturalia adalah salah satu unsur yang melekat pada perjanjian atau merupakan bagian dari suatu perjanjian yang tanpa disebutkan dengan dianggap ada dalam perjanjian tersebut, demikian yang dijelaskan Rosdalina Bukido dalam Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah: Urgensi Perjanjian dalam Hubungan Keperdataan (hal. 7). Hal ini yang sering terjadi dalam perjanjian jual beli yang mana tanpa disebutkan secara tegas bahwa penjual harus menjamin bahwa barang yang dibeli oleh pembeli dalam keadaan cacat tersembunyi.
Kesepakatan di sini memberikan pengertian bahwa jual beli ini tidak ada unsur pemaksaan dan keterpaksaan sehingga ada kebebasan dari para pihak untuk membeli/menjual objek perjanjian jual beli. Mengenai kelebihan tanah yang dimaksudkan, tentu harus mengacu ada akta jual beli yang telah ditandatangani oleh pembeli sebagai suatu kesepakatan dengan pihak developer sebagai penjual dalam perjanjian jual beli.
Pendaftaran tanah adalah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemiliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Mengacu pada definisi di atas, maka pendaftaran tanah akan selalu memberikan data yang valid sesuai data fisik dan data yuridisnya agar kemudian bisa diterbitkan sertifikat hak atas tanahnya. Adapun untuk mengajukan permohonan sertifikat atas pendaftaran tanah yang ada tersebut harus melampirkan beberapa berkas administrasi pendaftaran tanah, salah satunya adalah Akta Jual Beli (“AJB”) sebagai bukti sah terjadinya peralihan hak atas tanah antara penjual dan pembeli, hal tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997 berikut:
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Di mana di dalam AJB tersebut tentunya memuat beberapa ketentuan yang sudah disepakati oleh para pihak berdasarkan pada syarat sahnya suatu perjanjian di Pasal 1320 KUH Perdata, di antaranya adanya kesepakatan para pihak, kecakapan menurut hukum, objek tertentu, karena kausa yang halal (diperbolehkan/legal).
Jika kemudian dalam AJB sudah dan terlanjur ada penandatanganan oleh pembeli maka secara hukum hal ini sudah dianggap sepakat/setuju/berkehendak atas perjanjian yang ada dalam akta (jika akta mencantumkan nominal luasan yang sudah tertulis dalam AJB) dan ini menunjukkan bahwa pembeli sepakat untuk membayar pajak sesuai tanah yang dialihkan. Namun jika akta tidak mencantumkan nominal besaran luasan tanah yang ada dalam objek AJB, maka pembeli dapat menolak untuk membayar pajak kelebihan tanah yang dimaksudkan, begitu juga sebaliknya.
Jika masih terdapat keraguan, maka perlu ada pengukuran ulang yang kemudian menghadirkan pihak dari Badan Pertanahan Nasional, developer dan pembeli agar sama-sama mengetahui luasan tanah yang valid.
Dasar Hukum:
Referensi:
R. Subekti dan R. Tjiptrosudibio. Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan Tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan. Cetakan Ke 34. Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2004.
Rosdalina Bukido. Urgensi Perjanjian dalam Hubungan Keperdataan. Jurnal Ilmiah Al-Syir'ah Vol 7, No 2, 2009.