Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Jika Presiden Melibatkan TNI dan Polri Pada Kampanye Pemilu

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Jika Presiden Melibatkan TNI dan Polri Pada Kampanye Pemilu

Jika Presiden Melibatkan TNI dan Polri Pada Kampanye Pemilu
Charles Simabura, S.H., M.H.Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas
Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH Universitas Andalas
Bacaan 10 Menit
Jika Presiden Melibatkan TNI dan Polri Pada Kampanye Pemilu

PERTANYAAN

Belakangan ribut himbauan Presiden yang mengajak TNI dan Polri menyerukan kesuksesan pemerintah. Pertanyaan saya, bagaimana mekanismenya jika Presiden diduga melanggar UU TNI Polri? Apakah memungkinkan dituntut pidana atau harus melalui mekanisme politik di DPR, MK, dan MPR?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Kami asumsikan himbauan tersebut disampaikan dalam kurun waktu masa kampanye oleh presiden yang juga menjadi calon presiden.
     
    Tentara Negara Indonesia (TNI) dan Polri diwajibkan untuk bersikap netral dan tidak boleh terlibat dalam politik praktis (pemilu). Perbuatan Presiden mengimbau TNI dan Polri untuk menyukseskan pemerintahan pada masa kampanye dapat dianggap sebagai tindakan yang menguntungkannya sebagai peserta pemilu.
     
    Presiden menurut Pasal 122 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara merupakan pejabat negara yang dapat dipidana jika terbukti melanggar ketentuan Pasal 547 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yaitu larangan melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilihan umum dalam masa kampanye.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Ulasan:
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Kekuasaan Negara
    Jimly Asshiddiqie dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II (hal.59), menjelasakan cabang kekuasaan eksekutif adalah cabang kekuasaan yang memegang kewenangan administrasi pemerintahan yang tertinggi.[1]
     
    Lebih lanjut, dalam buku yang sama Jilmly mengutip pemikiran Montesquieu, dalam bukunya L’Esprit des Lois (1748), yang juga mengikuti jalan pikiran John Locke, membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang, yaitu
    1. kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang-undang;
    2. kekuasan eksekutif yang melaksanakan; dan
    3. kekuasaan untuk menghakimi atau yudikatif.
     
    Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the executive or administrative function), dan yudisial (the judicial function).[2]
     
    Maka pada dasarnya, kekuasaan eksekutif berfungsi menyelenggarakan atau melaksanakan (to execute) amanat konstitusi dan perintah undang-undang. Menurut Jilmly (hal.112), dalam cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan, pada negara yang menganut sistem presidensial, terdapat presiden dan wakil presiden yang merupakan satu kesatuan institusi kepresidenan.[3]
     
    Himbauan Presiden untuk Menyukseskan Pemerintah
    Institusi inilah yang kemudian menjalankan fungsi penyelenggaraan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan. Pada hakikatnya, institusi ini tidak didesain untuk melakukan hal sebaliknya, yakni melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Terkait dengan himbauan presiden yang mengajak Tentara Negara Indonesia (“TNI”) dan Polri menyerukan kesuksesan pemerintah setidaknya dapat dilihat dalam dua prespektif. Pertama, perlu ada konfirmasi terkait kebenaran informasi ini. Kedua, karena penanya dalam hal ini bertanya dengan pendekatan kasuistik yang kebenaran kasusnya belum dapat terkonfirmasi, maka kami disini akan menjawab dalam kerangka normatif saja.
     
    Presiden (pada saat ini tahun 2019) dalam konteks ini kebetulan juga merupakan calon presiden pada saat yang bersamaan menginstruksikan pada personil TNI dan POLRI untuk menyerukan kesuksesan pemerintah maka harus dilihat konteks dan waktu penyampaian himbauan tersebut. Jika disampaikan dalam kurun waktu di luar masa kampanye maka hal tersebut merupakan sebuah kewajaran. Hal ini dikarenakan Presiden adalah kepala pemerintahan dan jelas siapapun sebagai bagian dari pemerintah sudah sewajarnya mensosialisasikan kendala-kendala termasuk kesuksesan program Pemerintah.
     
    Sebaliknya, kondisi akan berbeda manakala himbauan tersebut disampaikan dalam kurun waktu masa kampanye. Presiden yang mencalonkan diri kembali sebagai calon presiden harus berhati-hati dalam menyampaikan sesuatu dikarenakan berpotensi menimbulkan masalah secara hukum. Sulit kiranya dibedakan antara kampanye petahana (pemegang suatu jabatan politik tertentu (yang sedang atau masih menjabat) dan sosialisasi keberhasilan pemerintah (Presiden) yang notabene berstatus petahana.
     
    TNI dan Polri Harus Bersifat Netral
    Jika merujuk pada tugas pokok dan fungsi TNI/POLRI yang telah diatur di dalam undang-undang, himbauan tersebut potensial melanggar undang-undang.
     
    Untuk TNI, dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (“UU TNI”) dinyatakan bahwa fungsi TNI yaitu:
    1. penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dan ancaman bersenjata dari luar dan dalamnegeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa;
    2. penindak terhadap setiap bentuk ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan
    3. pemulih terhadap kondisi keamanan negara yang terganggu akibat kekacauan keamanan.
     
    Selanjutnya Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU TNI mengatur soal tugas TNI, yaitu:
     
    1. Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara,mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
    2. Tugas pokok tersebut dilakukan dengan:
      1. Operasi militer untuk perang.
      2. Operasi militer selain perang, yaitu untuk:
      1. mengatasi gerakan separatisme bersenjata;
      2. mengatasi pemberontakan bersenjata;
      3. mengatasi aksi terorisme;
      4. mengamankan wilayah perbatasan;
      5. mengamankan objek vital nasional yang bersifat strategis;
      6. melaksanakan tugas perdamaian dunia sesuai dengan kebijakan politik luar negeri;
      7. mengamankan Presiden dan wakil presiden beserta keluarganya;
      8. memberdayakan wilayah pertahanan dan kekuatan pendukungnya secara dini sesuai dengan sistem pertahanan semesta;
      9. membantu tugas pemerintahan di daerah;
      10. membantu kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat yang diatur dalam undang-undang;
      11. membantu mengamankan tamu negara setingkat kepala dan perwakilan pemerintah asing yang sedang berada di Indonesia;
      12. membantu menanggulangi akibat bencana alam, pengungsian, dan pemberian bantuan kemanusiaan;
      13. membantu pencarian dan pertolongan dalam kecelakaan (search and rescue); serta
      14. membantu pemerintah dalam pengamanan pelayaran dan penerbangan terhadap pembajakan, perompakan, dan penyelundupan.
     
    Berdasarkan kedua pasal tersebut baik fungsi maupun tugas TNI sama sekali tidak menyebutkan bahwa mensosialisasikan kesuksesan pemerintah kepada masyarakat sebagai salah satunya. Apalagi yang bertendensi mengarah pada kegiatan politik praktis yang jelas-jelas akan melanggar ketentuan Pasal 39 angka 2 UU TNI.
     
    Demikian juga POLRI yang juga tidak diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Polri”) untuk mengemban tugas menyosialisasikan kesuksesan pemerintah kepada masyarakat. Hal ini dapat dilihat pada ketentuan Pasal 2 UU Polri yang mengatur soal fungsi POLRI, yakni:
     
    Fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
     
    Selanjutnya Pasal 13 UU Polri yang mengatur soal tugas POLRI, yakni:
     
    Tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
      1. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
      2. menegakkan hukum; dan
      3. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
     
    Kemudian Pasal 14 ayat (1) UU Polri dinyatakan bahwa:
     
    Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
    1. melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadapkegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
    2. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban,dan kelancaran lalu lintas di jalan;
    3. membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat,kesadaran hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadaphukum dan peraturan perundang-undangan;
    4. turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
    5. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
    6. melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadapkepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentukpengamanan swakarsa;
    7. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidanasesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undanganlainnya;
    8. menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian,laboratorium forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugaskepolisian;
    9. melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, danlingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasukmemberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasimanusia;
    10. melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelumditangani oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
    11. memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannyadalam lingkup tugas kepolisian; serta
    12.  melaksanakan tugas lain sesuaidengan peraturan perundang-undangan.
     
    Dari uraian tersebut maka dalam hal ini, menurut UU TNI maupun UU POLRI, kedua lembaga ini tidak dibenarkan menerima dan melaksanakan himbauan/instruksi Presiden untuk menyerukan kesuksesan pemerintah apalagi disampaikan dalam masa kampanye pemilihan umum (“pemilu”) yang dapat menguntungkan salah satu peserta pemilu. Hal ini dikarenakan dapat mengarah kepada terlibatnya kedua lembaga ini kedalam pusaran politik praktis dan hal tersebut merupakan hal yang dilarang.
     
    Larangan tersebut semakin dipertegas dalam undang-undang pemilu yang mewajibkan kedua lembaga ini untuk menjaga netralitasnya. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”) diatur sanksi pidana bagi anggota TNI dan POLRI yang melakukan perbuatan memihak dan mengkampanyekan salah satu peserta pemilu, yakni diatur dalam Pasal 494 UU Pemilu, yang menyatakan:
     
    Setiap aparatur sipil negara, anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepala desa, perangkat desa, dan/ atau anggota badan permusyawaratan desa yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama I (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
     
    Kemudian di dalam Pasal 280 ayat (3) UU Pemilu, baik TNI maupun POLRI juga turut dilarang ikut serta sebagai pelaksana dan tim kampanye pemilu.
     
    Akibat Hukum Jika Presiden Menghimbau TNI dan Polri Terlibat Dalam Pemilu
    Lalu yang menjadi pertanyaan, apa akibat hukum bagi presiden yang menghimbau lembaga TNI dan POLRI yang menurut undang-undang seharusnya netral untuk menyerukan kesuksesan pemerintah yang dapat menguntungkan salah satu pihak peserta pemilu?
     
    Maka dalam hal ini, yang dilanggar presiden bukanlah ketentuan dalam UU TNI maupun UU POLRI, melainkan ketentuan pidana yang dimuat dalam Pasal 547 UU Pemilu yaitu:
     
    Setiap pejabat negara yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).
     
    Presiden menurut Pasal 122 huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (“UU ASN”) merupakan pejabat negara yang dapat dipidana jika terbukti melanggar ketentuan Pasal 547 UU Pemilu. Menurut Khairul Fahmi dalam tulisannya yang berjudul Sistem Penanganan Tindak Pidana Pemilu -Jurnal Konstitusi, ketika yang dilanggar adalah ketentuan pidana dalam UU Pemilu, maka alur penanganannya adalah sebagai berikut:
     
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
     
    Referensi:
    1. Jimly Asshiddiqie.2017. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretariat Jenderal MK RI
    2. Sistem Penanganan Tindak Pidana Pemilu -Jurnal Konstitusi, diakses pada Sabtu,16 Maret 2019, pukul 11:35 WIB.

    [1]   Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta: Sekretariat Jenderal MK RI, hal. 59.
    [2] Ibid., hal. 13.
    [3] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Jakarta: Sekretariat Jenderal MK RI, hal. 112.

    Tags

    tni
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Balik Nama Sertifikat Tanah karena Jual Beli

    24 Jun 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!