Saya memiliki lahan yang dikerjakan secara turun temurun. lahan saya tersebut terletak di wilayah izin usaha pertambangan perusahaan tambang. Oleh karena perusahaan hendak melakukan kegiatan pertambangan di lahan saya tersebut, maka perusahaan berniat untuk membebaskan lahan Saya. Pembebasan Lahan oleh perusahaan ini menjadi terkendala karena ada klaim dari pihak lain yang mengaku berhak atas lahan tersebut sehingga perusahaan menunda untuk membebaskan lahan saya sampai adanya penyelesaian antara saya dan pihak yang mengklaim tadi. Penyelesaian sengketa lahan ini diselesaikan melalui hukum adat setempat. Pihak yang bertindak sebagai "Penggugat" adalah orang yang mengklaim lahan saya. Dalam putusan adat, pihak yang dimenangkan adalah Saya. Adapun alasan Demang (Hakim Adat) memenangkan saya adalah karena Penggugat telah dipanggil 3 kali dalam rangka penyelesaian sengketa ini tapi tidak pernah hadir tanpa alasan yang sah. Dalam Putusan Adat disebutkan bahwa jika pihak yang kalah tidak mengajukan upaya keberatan / banding dalam waktu yang ditentukan maka dianggap menerima putusan tersebut dan ternyata jangka waktu yang ditentukan untuk pengajuan keberatan / banding telah lewat dan tidak dipergunakan oleh pihak penggugat. Namun, dalam kenyataannya, pihak penggugat walaupun sudah ada putusan adat, masih saja mengklaim bahwa itu tanah miliknya. Pertanyaan Saya, bagaimanakah kekuatan hukum putusan adat tersebut?
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Sehingga, pengadilan adat maupun hakim adat tidak dikenaldalam hukum positif di Indonesia. Walaupun demikian, bukan berarti keberlakuan dari hukum adat yang diputuskan oleh masyarakat hukum adat tersebut tidak ada sama sekali. Seperti yang diungkapkan oleh Van Vollenhoven sebagaimana dikutip dalam buku “Hukum Adat dan Modernisasi Hukum” (Terbitan FH UII, 1998; hal. 169) bahwa hukum adat adalah hukum asli sekelompok penduduk di Indonesia yang terikat karena hubungan geneologis (kesukuan) atau territorial (desa) (lihat Pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling - S. 1855-2).
Dalam hukum nasional saat ini, masyarakat hukum adat diakui oleh konstitusi Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945yang berbunyi:
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
“Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
Penguasaan masyarakat hukum adat terhadap tanah adat disebut dengan hak ulayat dan masyarakat hukum adat berhak untuk mengatur wilayah ulayat tersebut. Dalam Surat Direktur Jenderal Kehutanan dan Perkebunan Pengelolaan Hutan Produksi Nomor 922/VI-PHT/2000 Tahun2000Tanggal 8 Mei 2000 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila ada sekelompok orang yang masih terikat dengan tatanan hukum adat sebagai persekutuan hukum, memiliki tanah ulayat yang menjadi lingkungan hidupnya, dan terdapat hukum adat mengenai pengaturan tanah ulayat yang masih ditaati. Kemudian keberadaan adanya tanah ulayat dan masyarakat hukum adatnya diatur dengan Peraturan Daerah.
Pada kasus Saudara, mengenai adanya pengadilan adat di wilayah tersebut menandakan keberadaan masyarakat hukum adat yang mengatur wilayah tersebut (tanah ulayat). Namun, perlu dilihat apakah pemerintah setempat mengakui keberadaan masyarakat adat yang memutus perkara Saudara dalam Peraturan Daerah setempat.
Dengan diakuinya keberadaan masyarakat hukum adat tertentu dalam Peraturan Daerah (Perda) setempat, maka hal tersebut dapat menguatkan kedudukan hukum (legal standing) bagi suatu masyarakat hukum adat untuk berperkara di pengadilan. Dalam kasus ini, posisi Saudara dikuatkan dengan adanya pengakuan melalui Perda tersebut.
Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H. dalam bukunya “Hukum Adat dalam Yurisprudensi” (hal. 85-91) memberikan satu contoh kasus yang bisa dikatakan tidak jauh berbeda dengan kasus Saudara yang kami sarikan sebagai berikut:
Duduk perkara kasus tersebut adalah sengketa antara R.A. Darmosewojo sebagai penggugat melawan R.M. Brotodirdjo sebagai tergugat.
Keduanya tinggal di desa Plawikan, Kecamatan Jogonalan, Kawedanan Gondangwinangun, Kabupaten Klaten. Penggugat mendalilkan bahwa ayah penggugat, R.M. Ng.Djojosasmito sebelum meninggal dunia telah menghibahkan sebidang tanah pekarangan, akan tetapi Rapat Desa Plawikan memutuskan bahwa tanah itu adalah barang warisan R.M. Ng.Djojosasmito sehingga harus dibagi dua antara kedua anak kandungnya yaitu penggugat dan tergugat.
Penggugat kemudian membawa perkara ini ke Pengadilan Negeri Klaten dan menuntut pengesahan atas hibah tersebut dan membatalkan Putusan Desa tanggal 25 Agustus 1955. Pengadilan Negeri Klaten dalam putusannya No. 1/1956/Pdt tanggal 30 Juli 1956 menolak tuntutan untuk mengesahkan hibah. Karena tidak puas, penggugat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Surabaya yang dalam Putusan No.510/1957/Pdt tanggal 8 Juli 1958 membatalkan putusan PN Klaten.
Pengadilan Tinggi Surabaya kemudian memutuskan memerintahkan penyitaan atas barang yang termuat dalam berita acara. Akhirnya Mahkamah Agung dalam putusannya No.340 K/Sip/1958tanggal 19 November 1958 memutuskan untuk menolak semua tuntutan penggugat (R.A. Darmosewojo). Pada salah satu pertimbangannya, Mahkamah Agung berpendapat:
“Pengadilan Negeri secara tidak tepat antara lain mempertimbangkan tentang kemungkinan pembatalan putusan desa, oleh karena telah menjadi yurisprudensi tetap dari Mahkamah Agung bahwa tidak termasuk atribusi Hakim Negeri untuk meninjau benar/tidaknya sesuatu putusan desa.”
Dari contoh tersebut, sengketa dapat diselesaikan melalui hukum adat. Tapi, ketika masih timbul sengketa terhadap suatu putusan adat, sengketa dapat dibawa ke pengadilan negeri untuk diselesaikan secara hukum (dalam hal ini adalah hukum nasional/negara).
Kesimpulannya, walaupun dalam hierarki kekuasaan kehakiman putusan hakim adat tidak diakui secara tegas, tetapi dalam praktiknya keberadaan putusan hakim adat tetap diakui sepanjang masyarakat hukum adatnya telah juga telah diakui dan diatur dalam Peraturan Daerah setempat. Sehingga, setiap putusan yang dikeluarkan oleh hakim adat berlaku mengikat bagi masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Meski memang, menurut logika hukumnya putusan pengadilan lebih memiliki kekuatan hukum dibandingkan dengan putusan pengadilan adat karena didasarkan pada hukum positif.
Demikian jawaban dari kami semoga bermanfaat untuk Anda.
6.Surat Direktur Jenderal Kehutanan dan Perkebunan Pengelolaan Hutan Priduksi Nomor 922/VI-PHT/2000 Tahun 2000 Tanggal 8 Mei 2000 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Putusan:
1.Putusan Pengadilan Negeri Klaten No. 1/1956/Pdt tanggal 30 Juli 1956;
2.Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No.510/1957/Pdt tanggal 8 Juli 1958;
3.Putusan Mahkamah Agung No. 340 K/Sip/1958 tanggal 19 November 1958.