Baru-baru ini viral kasus bapak kos di Semarang makan kucing peliharaan. Menurut berita yang beredar, kasus ini terungkap setelah para penghuni kos mencium bau tidak sedap seperti bangkai. Ketika mereka menyelidiki lebih lanjut, ditemukan bulu kucing di sekitar lokasi bau tersebut. Kemudian, penghuni kos menyadari beberapa kucing peliharaannya hilang. Pada akhirnya, bapak kos mengaku bahwa ia telah makan kucing sejak 10 tahun yang lalu. Pasalnya, alasan bapak kos makan kucing adalah untuk mengobati penyakit diabetes yang dideritanya. Pertanyaan saya, adakah jerat hukum yang dapat dikenakan terhadap bapak kos pemakan kucing tersebut? Apakah perbuatan memakan hewan peliharaan orang lain bisa dipidana?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Bapak kos yang makan kucing peliharaan orang lain dapat dipidana karena melakukan penganiayaan yang menyebabkan hewan mati. Perbuatan tersebut dijerat Pasal 302 ayat (2) KUHP lama, atau Pasal 337 ayat (2) UU 1/2023 tentang KUHP baru.
Selain itu, pelaku juga berpotensi dipidana berdasarkan UU 41/2014.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Memakan Hewan Peliharaan Orang Lain Bisa Dipidana?
Pada dasarnya, perbuatan memakan hewan peliharaan orang lain (dalam hal ini kucing) dapat kami asumsikan sebagai penganiayaan yang menyebabkan hewan mati. Tindakan penganiayaan terhadap hewan diatur dalam KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku terhitung 3 tahun sejak tanggal diundangkan, yaitu tahun 2026[1], sebagai berikut:
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pasal 302 KUHP
Pasal 337 UU 1/2023
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta[2] karena melakukan penganiayaan ringan terhadap hewan
barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya;
barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib dipeliharanya.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan, atau pidana denda paling banyak Rp300 ribu[3], karena penganiayaan hewan.
(3) Jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas.
(4) Percobaan melakukan kejahatan tersebut tidak dipidana.
(1) Dipidana karena melakukan penganiayaan hewan dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta[4] setiap orang yang:
a. menyakiti atau melukai hewan atau merugikan kesehatannya dengan melampaui batas atau tanpa tujuan yang patut; atau
b. melakukan hubungan seksual dengan hewan.
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan hewan sakit lebih dari 1 minggu, cacat, luka berat, atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta.[5]
(3) Dalam hal hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) milik pelaku tindak pidana, hewan tersebut dapat dirampas dan ditempatkan ke tempat yang layak bagi hewan.
S.R Sianturi dalam bukunya Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya (hal. 272) menjelaskan unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai penganiayaan hewan sebagaimana termuat dalam Pasal 302 ayat (1) KUHP, sebagai berikut:
Unsur Subjek: Barangsiapa
Menurut S.R. Sianturi, berkenaan dengan subjek atau pelaku dalam Pasal 302 ayat (1) ke-2 KUHP, adanya pembatasan terhadap subjek/pelaku yang bersangkutan, yaitu:[6]
Petindak itu adalah juga pemilik hewan itu seluruhnya atau sebagian dan berada dalam pengawasannya. Jika ia adalah pemilik tetapi dititipkan kepada tetangganya, maka jika ia menyakiti hewan tersebut, kepadanya diterapkan Pasal 302 ayat (1) ke-1 KUHP, karena untuk ayat (1) ke-1 tidak dipersoalkan siapa pemiliknya.
Petindak bukan pemilik yang sebenarnya dari hewan itu tetapi karena dititipkan atau diserahkan kepadanya ataupun dia temukan hewan itu lalu dipeliharanya, maka wajib ia pelihara untuk seterusnya. Kapan kewajibannya berakhir untuk memelihara hewan itu dalam banyak hal diserahkan kepada pertimbangan dan kearifan hakim.
Unsur Kesalahan: Dengan Sengaja
Pengertian kesengajaan telah dikembangkan lebih lanjut sehingga dikenal adanya tiga bentuk kesengajaan, yaitu:[7]
Unsur Bersifat Melawan Hukum: Tanpa Tujuan yang Patut atau Secara Melampaui Batas untuk Mencapai Tujuan yang Diperkenankan
S.R. Sianturi memberi beberapa contoh yang pada umumnya tidak dapat diterima oleh masyarakat, yaitu:[8]
menguliti kelinci yang masih hidup;
mencambuki kuda beban, kuda tarik (kuda andong) yang sudah sangat kelelahan.
Sedangkan yang pada umumnya masih dapat diterima masyarakat, yaitu:[9]
“menyakiti” dalam rangka penelitian secara ilmiah (vivi sectie);
dalam rangka mempercepat pertumbuhannya, memotong ekor ikan mas; atau
untuk memperindah binatang, memotong ekor dari anjing atau kuda.
Unsur Tindakan: Menyakiti, Melukai atau Merugikan Kesehatan Hewan (ayat 1 ke-1) atau Tidak Memberi Kebutuhan Hidup yang Diperlukan untuk Hidup (ayat 1 ke-2)
Selain makanan dan minuman, kebutuhan hidup yang diperlukan untuk hidup hewan tersebut, misalnya obat-obatan.[10]
Adapun penganiayaan hewan yang terjadi dalam Pasal 302 ayat (2) KUHP menitikberatkan pada akibat yang terjadi pada hewan, sebagaimana ditentukan sebagai penganiayaan hewan dalam hal tindakan tersebut mengakibatkan hewan menjadi:[11]
sakit lebih dari seminggu; atau
cacat; atau
menderita luka-luka berat lainnya; atau
mati.
Lebih lanjut, Pasal 302 ayat (3) KUHP menentukan bahwa jika hewan itu milik yang bersalah, maka hewan itu dapat dirampas. Jadi, ketentuan ini merupakan pidana tambahan yang berupa perampasan barang tertentu, dalam hal ini hewan teraniaya yang dimiliki oleh orang yang bersalah/orang yang menganiaya hewan tersebut. Adapun Pasal 302 ayat (4) KUHP mengatur bahwa percobaan melakukan penganiayaan terhadap hewan tidak dipidana.[12]
Oleh karena itu, jika memenuhi unsur-unsur pasal di atas, bapak kos yang makan kucing dapat dipidana karena melakukan penganiayaan yang menyebabkan hewan mati, berdasarkan Pasal 302 ayat (2) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 9 bulan, atau pidana denda maksimal Rp300 ribu. Sedangkan menurut Pasal 337 ayat (2) UU 1/2023, pelaku diancam pidana penjara maksimal 1 tahun 6 bulan atau pidana denda maksimal Rp50 juta.
Selain dapat dihukum berdasarkan KUHP atau UU 1/2023, bapak kos yang makan kucing juga berpotensi dipidana berdasarkan UU 41/2014. Pada dasarnya, setiap orang dilarang menganiaya dan/atau menyalahgunakan hewan yang mengakibatkan cacat dan/atau tidak produktif, sebagaimana diatur dalam Pasal 66A ayat (1) UU 41/2014.
Adapun orang yang melanggar Pasal 66A ayat (1) UU 41/2014 dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 bulan dan paling lama 6 bulan dan denda paling sedikit Rp1 juta dan paling banyak Rp5 juta.[13]
Sebagai informasi, pada praktiknya, penegak hukum dapat mengenakan pasal-pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur perbuatan penganiayaan yang menyebabkan matinya hewan, sebagaimana diatur dalam KUHP atau UU 1/2023, dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana UU 41/2014. Artinya, bila memang unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penegak hukum dapat menggunakan pasal-pasal tersebut, atau penegak hukum dapat mengajukan dakwaan secara alternatif.
Berdasarkan artikel Bentuk-bentuk Surat Dakwaan, dakwaan alternatif digunakan jika belum didapat kepastian tentang tindak pidana mana yang paling tepat dapat dibuktikan.