Saya ingin bertanya perihal pasal hukum pada lembaga pendidikan/sekolah yang membeda-bedakan calon guru yang melamar untuk mengabdikan diri di sekolah tersebut. Apakah ada tindak pidana/hukuman untuk lembaga yang membeda-bedakan antara lulusan PGMI dan PGSD? Ini saya tanyakan karena ada teman lulusan PGMI yang sedang melamar di lembaga sekolah SD tapi ditolak hanya karena dia lulusan PGMI dan pihak lembaga menyatakan dia membutuhkan guru lulusan PGSD bukan PGMI.
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Diskriminasi dalam konteks Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaanadalah sikap membedakan yang dilakukan atas dasar jenis kelamin, suku, ras, agama atau aliran politik. Sehingga, penolakan untuk merekrut tenaga kerja yang tidak didasarkan atas jenis kelamin, suku, ras, agama atau aliran politik, tidak dapat dikategorikan sebagai diskriminasi.
Selain itu, pemberi kerja berhak untuk menentukan kualifikasi yang dijadikan pedoman untuk melakukan perekrutan tenaga kerja atau tenaga pendidik.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
Kualifikasi Akademik Guru SD/MI atau bentuk lain yang sederajat, harus memiliki kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) dalam bidang pendidikan SD/MI (D-IV/S1 PGSD/PGMI) atau psikologi yang diperoleh dari program studi terakreditasi.
Berdasarkan penelusuran kami, Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (“PGMI”) merupakan program studi keguruan yang terdapat di perguruan tinggi islam di bawah naungan Kementerian Agama, sedangkan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (“PGSD”) merupakan program studi keguruan yang terdapat di perguruan tinggi di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Berdasarkan kronologi singkat yang Anda sampaikan, kami asumsikan bahwa teman Anda melamar sebagai tenaga pengajar di lembaga pendidikan swasta. Untuk menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kami akan membahas pengertian diskriminasi.
Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya.
Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
Pengertian diskriminasi dalam UU Ketenagakerjaan dapat diambil dari penjelasan pasal tersebut yang menyebutkan bahwa setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang sama terhadap para penyandang cacat.[1]
Sehingga, berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diambil kesimpulan bahwa diskriminasi dalam konteks UU Ketenagakerjaan adalah sikap membedakan yang dilakukan atas dasar jenis kelamin, suku, ras, agama atau aliran politik.
Sehingga, kami berpendapat bahwa dalam kasus yang Anda tanyakan, di mana sebuah lembaga pendidikan tempat teman Anda melamar pekerjaan membutuhkan guru lulusan PGSD dan menolak guru lulusan PGMI, hal tersebut secara hukum tidak dapat dikategorikan sebagai diskriminasi, karena tidak dilakukan atas dasar jenis kelamin, suku, ras, agama atau aliran politik.
Menurut Suwatno dan Donni Juni Priansa dalam buku Manajemen SDM dalam Organisasi Publik dan Bisnis, perekrutan merupakan kegiatan untuk mendapatkan sejumlah tenaga kerja dari berbagai sumber, sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan, sehingga mereka mampu menjalankan misi organisasi untuk merealisasikan visi dan tujuannya (hal. 63).
Penentukan kualifikasi calon tenaga kerja yang dibutuhkan merupakan hak pemberi kerja, sesuai dengan Pasal 32 ayat (2) UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa:
Penempatan tenaga kerja diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat,minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi dan perlindungan hukum.
Dengan demikian, pemberi kerja berhak untuk menentukan kualifikasi yang dijadikan pedoman untuk melakukan perekrutan tenaga kerja atau tenaga pendidik. Hal ini juga sesuai dengan asas bebas dalam penempatan tenaga kerja,[2] yang berarti bahwa pencari kerja bebas memilih jenis pekerjaan dan pemberi kerja bebas memilih tenaga kerja, sehingga tidak dibenarkan pencari kerja dipaksa untuk menerima suatu pekerjaan dan pemberi kerja tidak dibenarkan dipaksa untuk menerima tenaga kerja yang ditawarkan.[3]
Namun, perlu dipehatikan juga asas lainnya dalam penempatan tenaga kerja yaitu asas obyektif yang berarti pemberi kerja menawarkan pekerjaan yang cocok kepada pencari kerja sesuai dengan kemampuannya dan persyaratan jabatan yang dibutuhkan, serta harus memperhatikan kepentingan umum dengan tidak memihak kepada kepentingan pihak tertentu, dan asas adil dan setara tanpa diskriminasi yang berarti bahwa penempatan tenaga kerja dilakukan berdasarkan kemampuan tenaga kerja dan tidak didasarkan atas ras, jenis kelamin, warna kulit, agama, dan aliran politik.[4]
Sehingga, jika perekrutan dan penempatan tenaga kerja telah sesuai dengan asas-asas tersebut, maka hal tersebut telah memenuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.