Sahkah Menikah Saat Hamil Duluan?
Keluarga

Sahkah Menikah Saat Hamil Duluan?

Bacaan 4 Menit

Pertanyaan

Teman saya menghamili pacarnya kemudian saat usia kandungannya 3 bulan, teman saya dan pacarnya menikah. Setelah menikah, teman saya itu mendapatkan buku nikah. Namun, setelah usia perkawinan mencapai 6 bulan dan si wanita sudah melahirkan, keluarga bersepakat untuk menikahkan lagi. Pada saat nikah kedua, keluarga hanya menghadiri seorang penghulu tanpa diberikan buku nikah seperti pada saat menikah pertama. Pertanyaan saya, nikah saat hamil apakah sah? Kemudian, hamil di luar nikah apakah harus menikah lagi setelah melahirkan?

Intisari Jawaban

circle with chevron up

Pada dasarnya suatu perkawinan adalah sah ketika dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing, yang kemudian dicatatkan di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama. Adapun, ketentuan mengenai hukum nikah saat hamil duluan diatur di dalam Pasal 53 KHI. Bagaimana bunyi ketentuannya?

 

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

Ulasan Lengkap

 

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Keabsahan Perkawinan Saat Istri Hamil di Luar Nikah yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn., dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 12 Maret 2013.

 

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

 

Syarat Sah Perkawinan

Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu kami sampaikan mengenai syarat sah suatu perkawinan. Pada dasarnya, perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.[1]

Selanjutnya, apabila perkawinan telah sah dilakukan menurut hukum agama/kepercayaannya, maka tiap-tiap perkawinan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil (bagi yang beragama selain Islam) atau Kantor Urusan Agama (bagi yang beragama Islam).[2] Adapun, pencatatan perkawinan ini wajib dilakukan oleh mempelai.[3]

Atas pencatatan perkawinan tersebut, maka diterbitkanlah Kutipan Akta Perkawinan yang masing-masing diberikan kepada suami dan istri.[4] Untuk yang beragama Islam, buku nikah adalah dokumen petikan akta nikah dalam bentuk buku.[5]

 

Hukum Akad Nikah Saat Hamil

Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa teman Anda dan istrinya beragama Islam dan melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam. Lantas, bolehkah menikah saat hamil di luar nikah menurut hukum Islam?

Untuk menjawab hukum nikah saat hamil duluan, kami akan mengacu pada ketentuan dalam KHI yang mengenal adanya kawin hamil. Hal tersebut diatur di dalam Pasal 53 KHI bahwa seorang wanita yang hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. Perkawinan dengan wanita hamil tersebut dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Pasal 53 KHI tersebut menjawab pertanyaan hamil di luar nikah apakah harus menikah lagi setelah melahirkan. Sebab, pasangan suami istri yang telah menikah saat hamil tidak perlu menikah lagi ketika anaknya sudah dilahirkan.

Dengan demikian, dalam kasus yang Anda sampaikan, perkawinan yang sesuai peraturan perundang-udangan adalah perkawinan yang pertama, karena dilangsungkan sesuai dengan hukum agama Islam yaitu berdasarkan KHI dan dicatatkan dengan bukti adanya buku nikah. Kemudian, status pernikahan kedua yaitu perkawinan yang dilangsungkan setelah mempelai wanita melahirkan anaknya, adalah tidak mempunyai dasar hukum dan tidak perlu dilakukan.

Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

Demikian jawaban dari kami tentang hukum menikah saat hamil duluan, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
  2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 206 tentang Administrasi Kependudukan;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
  4. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam;
  5. Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Nikah.

[1] Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)

[2] Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan jo. Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”)

[4] Pasal 34 ayat (2) dan (3) UU Adminduk

Tags: