Perbedaan Leasing dengan Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance)
Sebelum mengulas pertanyaan Anda lebih lanjut, terdapat beberapa hal yang perlu kami luruskan. Pertama, pihak leasing yang Anda maksud sejatinya merupakan perusahaan pembiayaan. Menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan (“Perpres 9/2009”):
Perusahaan pembiayaan adalah badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan sewa guna usaha, anjak piutang, pembiayaan konsumen, dan/atau usaha kartu kredit.
Yang perlu Anda ketahui, leasing atau sewa guna usaha hanyalah salah satu jenis kegiatan usaha perusahaan pembiayaan.[1] Sewa guna usaha (leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.[2]
Baca juga: Perbedaan Leasing dan Sewa Beli
Sekalipun menyebut penarik motor sebagai “pihak leasing”, Anda tidak merinci lebih lanjut mengenai skema pembiayaan apa yang sesungguhnya mengikat orang tua Anda dan perusahaan pembiayaan tersebut.
Dalam hal ini kami asumsikan bahwa motor orang tua Anda semata digunakan untuk keperluan transportasi harian (bukan barang modal untuk usaha), sehingga skema pembiayaan yang digunakan sejatinya adalah pembiayaan konsumen (consumer finance). Pasal 1 angka 7 Perpres 9/2009 mendefinisikan pembiayaan konsumen sebagai berikut:
Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran.
Konstruksi hukumnya, sepeda motor yang Anda maksud telah dibayar lunas oleh perusahaan pembiayaan, yakni Pembiayaan Konsumen. Kepemilikan atas sepeda motor tersebut ada di tangan konsumen, namun konsumen dianggap memiliki utang yang akan dibayar secara angsuran sejumlah harga yang dibayar perusahaan pembiayaan pada dealer.
Bukti Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) atas sepeda motor yang dibeli tersebut menjadi jaminan atas utang piutang antara perusahaan pembiayaan selaku kreditur dan konsumen selaku debitur, dengan dibebani jaminan fidusia. Dalam hal ini berlaku ketentuan bahwa jika debitur tidak mampu menyelesaikan kewajibannya sesuai perjanjian, maka kreditur (Penerima Fidusia) berhak melakukan eksekusi atas benda jaminan (sepeda motor) dengan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang. Hal ini diatur dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Jaminan Fidusia”). Eksekusi terhadap benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan UU Jaminan Fidusia, batal demi hukum.[3]
Baca juga: Masalah Fidusia Ulang
Berbagai Skema Perlindungan Konsumen Perusahaan Pembiayaan
Namun demikian, cara penarikan yang salah, di mana eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia dilakukan secara melawan hukum, serta adanya informasi yang menyesatkan (berupa iming-iming kepada orang tua Anda agar ke kantor Perusahaan Pembiayaan untuk mendapatkan program potongan, padahal tidak), adalah pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UUPK”).
Sebagai pengguna jasa perusahaan pembiayaan, orang tua Anda dapat dikategorikan sebagai konsumen, yaitu setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.[4]
Hak orang tua Anda kemudian diatur dalam Pasal 4 huruf a dan huruf c UUPK, yang berbunyi:
Hak konsumen adalah:
- hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
- …
- hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
- dst...
Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.[5] Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:[6]
- seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
- sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
- lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
- pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit.
Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan sendiri dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (“BPSK”).[7] Apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa, konsumen dapat menggugat pihak perusahaan pembiayaan melalui pengadilan negeri setempat.[8]
Unsur Pidana
Selain membawa persoalan ini kepada BPSK atau pengadilan, adanya tipu daya dalam penarikan sepeda motor oleh pihak perusahaan pembiayaan, sehingga orang tua Anda kehilangan penguasaan atas sepeda motor tersebut, membuat Anda dapat membuat laporan pidana pada kepolisian setempat. Dalam hal ini, pihak perusahaan pembiayaan boleh jadi telah melanggar Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penggelapan, yang berbunyi:
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
UUPK sendiri telah mengatur bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam undang-undang.[9]
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum: