Pengurangan Ancaman Pidana Menurut KUHP
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) mengatur beberapa keadaan/kondisi pelaku tindak pidana mendapat ancaman hukuman pidana dengan pengurangan tertentu, di antaranya yaitu:
- Percobaan
Pada prinsipnya, pelaku perbuatan mencoba melakukan kejahatan dapat dipidana, jika niat pelaku untuk melakukan tindak pidana tersebut telah ada sejak permulaan pelaksana, dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.[1]
klinik Terkait:
Meskipun dapat dipidana, Pasal 53 ayat (2) dan (3) KUHP mengatur maksimum pidana bagi pelaku percobaan tindak pidana dapat dikurangi, dengan ketentuan:
- Maksimum pidana pokok bagi percobaan tindak pidana dikurangi sepertiga.
- Jika kejahatan diancam pidana mati dan pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara maksimal 15 tahun.
- Membantu melakukan tindak pidana
Seseorang dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) sesuatu kejahatan jika:
- Sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.
- Sengaja memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Sama halnya dengan percobaan tindak pidana, hukuman bagi orang yang membantu melakukan tindak pidana dikurangi sepertiga dari maksimum pidana pokok.[2] Jika kejahatan diancam pidana mati atau penjara seumur hidup, maka dijatuhi pidana penjara maksimal 15 tahun.[3]
- Ibu meninggalkan anaknya sesudah melahirkan
Seseorang dilarang menempatkan anak yang umurnya belum 7 tahun untuk ditemukan atau meninggalkan anak itu, dengan maksud untuk melepaskan diri darinya, diancam dengan pidana penjara maksimal 5 tahun 6 bulan.[4]
Jika perbuatan tersebut mengakibatkan luka-luka berat, pelaku dikenakan pidana penjara maksimal 7 tahun 6 bulan.[5] Sedangkan jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara maksimal 9 tahun.[6]
Namun, lain halnya jika perbuatan tersebut dilakukan oleh seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahiran anaknya sesudah ia melahirkan anak tersebut. Ibu yang melakukan ini, maksimum pidana pada Pasal 305 dan Pasal 306 dikurangi setengahnya, sebagaimana diatur Pasal 308 KUHP:
Jika seorang ibu karena takut akan diketahui orang tentang kelahiran anaknya, tidak lama sesudah melahirkan, menempatkan anaknya untuk ditemukan atau meninggalkannya, dengan maksud untuk melepaskan diri darinya, maka maksimum pidana tersebut dalam Pasal 305 dan 306 dikurangi separuh.
berita Terkait:
Namun demikian, patut diperhatikan bahwa Pasal 58 KUHP menegaskan:
Dalam menggunakan aturan-aturan pidana, keadaan-keadaan pribadi seseorang, yang menghapuskan, mengurangkan, atau memberatkan pengenaan pidana, hanya diperhitungkan terhadap pembuat atau pembantu yang bersangkutan itu sendiri.
Terdakwa Sopan, Bisakah Jadi Alasan Peringan Pidana?
Lalu, apakah terdakwa yang sopan di persidangan bisa menjadi alasan peringan pidana?
Dalam praktiknya, majelis hakim dalam menjatuhkan putusan mempertimbangkan alasan-alasan yang meringankan dan memberatkan pidana. Salah satu alasan yang kerap digunakan sebagai alasan yang meringankan pidana ialah “terdakwa berlaku sopan di persidangan”.
Sebagai contoh, kita dapat merujuk pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/PID/2006 Tahun 2006. Dalam pertimbangannya, majelis hakim memaparkan hal-hal yang meringankan pidana terdakwa, yaitu (hal. 5):
- Terdakwa berlaku sopan di persidangan;
- Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya;
- Terdakwa belum pernah dihukum;
- Terdakwa menyesali perbuatannya.
Contoh lainnya, dapat Anda lihat pada tingkat kasasi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2658 K/PID.SUS/2015, hal-hal yang meringankan terdakwa yaitu (hal. 80):
- Terdakwa belum pernah dihukum;
- Terdakwa bersikap sopan dalam persidangan.
Putusan tingkat kasasi tersebut kemudian diperkuat kembali dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 115 PK/PID.SUS/2017. Sehingga, memang dalam praktiknya, alasan “terdakwa berlaku sopan di persidangan” dapat menjadi hal-hal yang meringankan pidana.
Dwi Hananta dalam jurnalnya berjudul Pertimbangan Keadaan-Keadaan Meringankan dan Memberatkan dalam Penjatuhan Pidana, terkait pertimbangan bahwa terdakwa sopan di persidangan, hal ini sebenarnya kurang tepat dipertimbangkan sebagai keadaan meringankan. Sebab, bersikap sopan di persidangan adalah kewajiban setiap orang (hal. 99).
Perlu diperhatikan, jika memang sama sekali tidak ada keadaan yang meringankan yang bisa dipertimbangkan, hakim memiliki alasan untuk tidak mencantumkannya. Namun sepanjang keadaan meringankan tersebut masih ada, hakim tetap harus mempertimbangkannya. Karena, pertimbangan mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa harus termuat dalam surat putusan pemidanaan (hal. 104).
Jika keadaan meringankannya sedemikian rupa tidak setimpal dengan keadaan memberatkan, hakim tetap dapat menjatuhkan putusan pidana maksimum. Syaratnya ketidaksetimpalan antara keadaan memberatkan dan keadaan meringankan tersebut juga dijelaskan dalam peritmbangan putusan (hal. 104).
Masih dari jurnal yang sama, pertimbangan keadaan meringankan harus memenuhi karakteristik dengan batasan (hal. 105-106):
- Bentuknya berupa sifat, perihal, suasana atau situasi yang berlaku yang berkaitan dengan tindak pidana;
- Rumusannya ditemukan di luar dari tindak pidananya itu sendiri;
- Menggambarkan tingkat keseriusan tindak pidananya atau tingkat bahayanya si pelaku;
- Dapat merupakan upaya pelaku untuk menghilangkan atau mengurangi tingkat keseriusan dari tindak pidana (atau mengembalikan keadaan yang terganggu akibat tindak pidana kepada keadaan semula);
- Keadaan-keadaan yang berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan, yang mengurangi tingkat keseriusan dari tindak pidananya atau ancaman bahaya dari pelakunya; dan/atau
- Keadaan-keadaan yang dapat menjadi pertimbangan faktor sosiologis terkait kemanfaatan dari pemidanaan yang dijatuhkan.
Namun demikian, dalam menjatuhkan pidana dalam putusannya, menurut hemat kami, majelis hakim juga harus mempertimbangkan terpeliharanya rasa keadilan di masyarakat. Penting bagi hakim untuk mempertimbangkan rasa keadilan dan prinsip kemanusiaan tetapi hukum juga harus tegas. Sehingga dalam mengambil putusan hakim haruslah mempertimbangkan hukum normatif dan rasa keadilan masyarakatnya.[7]
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Putusan:
- Putusan Mahkamah Agung Nomor 572 K/PID/2006 Tahun 2006;
- Putusan Mahkamah Agung Nomor 115 PK/PID.SUS/2017.
Referensi:
- Dwi Hananta. Pertimbangan Keadaan-Keadaan Meringankan dan Memberatkan dalam Penjatuhan Pidana. Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 7, No. 1, Maret 2018;
- Tessalonika Novela Pangaila. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Tindak Pidana Umum. Jurnal Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016.
[1] Pasal 53 ayat (1) KUHP
[2] Pasal 57 ayat (1) KUHP
[3] Pasal 57 ayat (2) KUHP
[4] Pasal 305 KUHP
[5] Pasal 306 ayat (1) KUHP
[6] Pasal 306 ayat (2) KUHP
[7] Tessalonika Novela Pangaila. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap Tindak Pidana Umum. Jurnal Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016, hal. 10