Bagaimana cara untuk melaksanakan eksekusi atas sita berdasarkan dari putusan Pengadilan Negeri, sementara aset sita tersebut juga dalam penyitaan Bea Cukai. Adakah cara untuk melaksanakan putusan tersebut?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Penetapan sita eksekusi terhadap benda yang telah diletakan sita dalam lembaga penyitaan pada perkara pidana, dalam hal ini dilakukan oleh Bea Cukai, sebenarnya telah memunculkan hak absolut bagi Bea Cukai untuk menguasainya melalui Pasal 39 ayat (2) KUHAP.
Namun demikian, ada kemungkinan, dengan menggunakan penafsiran sistematis, seseorang yang merasa berhak secara keperdataan atas benda sitaan tersebut, dapat mengajukan upaya-upaya hukum. Apa sajakah upaya yang dimaksud?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Kedudukan Sita Pidana
Mengacu pada pertanyaan Anda, kami mengambil kesimpulan bahwa Anda tidak mengetahui bahwa benda sitaan yang Anda ajukan melalui Pengadilan Negeri tersebut, telah terlebih dahulu diletakkan ke dalam lembaga sita melalui institusi pemerintahan yaitu Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bea Cukai.
Permasalahannya adalah penyitaan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai tersebut disebabkan karena penyitaan pada perkara pidana atau penyitaan umum. Oleh karena ada perbedaan pendapat mengenai siapa yang memiliki hak untuk didahulukan melelang objek sitaan tersebut. Namun demikian, kami mengasumsikan bahwa penyitaan tersebut berasal dari perkara pidana. Terkait penyitaan dalam acara pidana menurut Pasal 39 ayat (2) KUHAP telah menegaskan:
Benda yang berada dalam sitaan karena perkara perdata atau karena pailit dapat juga disita untuk kepentingan penyidikan, penuntutan dan mengadili perkara pidana, sepanjang memenuhi ketentuan ayat (1).
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Namun demikian, apabila secara keperdataan benda sita tersebut telah dinyatakan melalui putusan pengadilan adalah milik Anda, maka Anda masih memiliki peluang untuk memperolehnya kembali. Sebab, Pasal 46 ayat (2) KUHAP berbunyi sebagai berikut:
Apabila perkara sudah diputus, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepadaorang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurutputusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkansampai tidak dapat dipergunakan lagi atau, jika benda tersebut masih diperlukan sebagaibarang bukti dalam perkara lain.
Tetapi jika benda sitaan bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, benda itu dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan. Artinya, benda harus diserahkan kepada departemen yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[1]
Dalam hal telah dinyatakan disita untuk dirampas oleh negara, maka berlakulah pendapat bahwa hukum publik lebih didahulukan dari pada hukum privat.[2] Di mana artinya, apabila peradilan pidana telah mengeluarkan keputusan untuk merampas benda sitaan tersebut sebagai hasil dari proses persidangan pidana, maka tertutup kemungkinan bagi hukum privat (perdata) untuk melakukan sita eksekusi atas benda sitaan tersebut.
Upaya Hukum Pihak Ketiga atas Benda Sitaan Pidana
Menyambung pertanyaan Anda, terdapat beberapa solusi di mana benda sitaan dapat diberikan kepada Anda. Kemungkinan ini terlihat dalam Pasal 46 ayat (2) KUHAP sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Dari ketentuan ini, ada kemungkinan Anda untuk menerima kembali benda sitaan tersebut, sepanjang disebutkan dalam putusan.
Ini berarti, pihak yang merasa sebagai pemilik, harus berjuang agar kepentingannya diakomodir oleh penuntut umum yaitu dengan disebutkan kepentingan tersebut dalam dakwaan dan tuntutannya.
Kemudian, apabila ternyata tidak disebutkan dalam putusan untuk dikembalikan kepada orang yang berhak, maka benda sitaan tersebut sudah dapat dipastikan akan dikuasai oleh institusi yang menguasainya. Maka menurut hemat kami, upaya yang masih dapat dilakukan adalah melakukan perlawanan pihak ketiga (derden verzet) dengan iktikad baik.
Solusi lainnya, menurut penulis, terdapat kemungkinan untuk dapat mengajukan suatu upaya hukum yaitu sita persamaan (vergelijkende beslag). Memang, pengajuan sita persamaan tersebut, pada umum digunakan untuk adanya tumpang tindih antara penetapan sita eksekusi atas sita umum, dan bukan atas penyitaan dalam perkara pidana.
Pengaturan mengenai sita persamaan dalam Pasal 463 Reglement op de Rechtsvordering (“Rv”) telah diterima dalam praktik peradilan pidana, karena kekosongan hukum dalam HIR/RBg. Berdasarkan pasal tersebut, logika penggunaan konsep sita persamaan karena benda telah disita oleh negara, maka sita eksekusi dari ranah hukum perdata tidak dapat digunakan lagi. Dengan kondisi demikian, penulis menyimpulkan ada kesesuaian keadaan berdasarkan kondisi yang diilustrasikan oleh Pasal 463 Rv tersebut.
Penulis merujuk, logika lain yang dapat mendasarkan pada penggunaan sita persamaan adalah menggunakan “penafsiran ekstensif”[3] terhadap Lampiran SEMA 7/2012 pada Hasil Rapat Kamar Perdata yang berbunyi (hal. 7):
Bagi Pemegang Hak Tanggungan tidak perlu mengajukan derden verzet/perlawanan karena obyek Hak Tanggungan tidak dapat diletakkan Sita Eksekusi kecuali Sita Persamaan, karena itu tidak mungkin dilakukan lelang eksekusi.
Terhadap logika di atas, penulis berpendapat, dapat pula dikonstruksikan melalui suatu pemahaman bahwa kedua fenomena hukum tersebut sama-sama diletakkannya benda tersebut dalam dua ranah penyitaan, yaitu penyitaan dalam hukum pidana dan penyitaan dalam hukum perdata.
Namun demikian, jika yang Anda maksud dalam pertanyaan adalah barang kena cukai dan barang-barang lain yang tersangkut tindak pidana di bidang cukai, mengenai tata cara penyelesaiannya dapat Anda rujuk menggunakan ketentuan PMK 39/2014.
Hwian Christianto. Batasan dan Perkembangan Penafsiran Ekstensif dalam Hukum Pidana. Jurnal Pamator, Vol. 3, No. 2, Oktober 2010;
Siti Hapsah Isfardiyana. Sita Umum Kepailitan Mendahului Sita Pidana dalam Pemberesan Harta Pailit. Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3, No. 3, 2016.
[2] Siti Hapsah Isfardiyana. Sita Umum Kepailitan Mendahului Sita Pidana dalam Pemberesan Harta Pailit. Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 3, No. 3, 2016
[3] Hwian Christianto. Batasan dan Perkembangan Penafsiran Ekstensif dalam Hukum Pidana. Jurnal Pamator, Vol. 3, No. 2, Oktober 2010, hal. 104