Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Masalah Penggabungan PMH dan Wanprestasi dalam Satu Gugatan

Share
copy-paste Share Icon
Perdata

Masalah Penggabungan PMH dan Wanprestasi dalam Satu Gugatan

Masalah Penggabungan PMH dan Wanprestasi dalam Satu Gugatan
Ilman Hadi, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Masalah Penggabungan PMH dan Wanprestasi dalam Satu Gugatan

PERTANYAAN

Yth. hukumonline.com, apa bisa gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum dijadikan satu gugatan di pengadilan? Atas jawabannya kami ucapkan terima kasih. Andi, Surabaya.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Kami asumsikan bahwa gugatan tersebut didasarkan pada perkara yang sama dan ditujukan kepada tergugat yang sama. Retnowulan Sutantio, S.H. dan Iskandar Oeripkartawinata, S.H. dalam buku Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek (hal. 15-17), gugatan dapat dibuat secara tertulis maupun secara lisan. Dalam praktiknya saat ini gugatan dibuat secara tertulis yang dikenal dengan surat gugatan. Surat gugatan harus memuat tanggal termasuk tanggal pemberian surat kuasa bila memberika kuasa, ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya, menyebutkan identitas penggugat dan tergugat, memuat gambaran yang jelas mengenai duduk persoalan (fundamentum petendi atau posita), dan petitum yaitu hal-hal apa yang dinginkan untuk diputus oleh hakim. Gugatan tersebut kemudian ditujukan dengan mangacu pada ketentuan Pasal 118 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (“HIR”).

     

    Gugatan wanprestasi dan gugatan perbuatan melawan hukum didasarkan pada ketentuan yang berbeda. Gugatan wanprestasi didasarkan pada adanya cidera janji dalam perjanjian sehingga salah satu pihak harus bertanggung jawab. Mengenai hal ini Saudara dapat melihat Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”). Sedangkan untuk gugatan perbuatan melawan hukum (“PMH”), biasanya didasarkan pada Pasal 1365 KUHPer:

     

    “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.”

     

    Apabila gugatan perdata diajukan dengan dasar wanprestasi dan PMH, akan membingungkan hakim karena didasarkan pada dasar hukum yang berbeda sehingga gugatan menjadi tidak jelas (obscuur libel). Mengutip artikel Penggabungan Gugatan Wanprestasi dan PMH Tidak Dapat Dibenarkan, Mahkamah Agung bahkan pernah mengeluarkan Putusan MA No. 1875 K/Pdt/1984 tertanggal 24 April 1986 yang menegaskan tentang hal ini. Ditambah lagi dalam Putusan MA No. 879 K/Pdt/1997 tanggal 29 Januari 2001 dijelaskan bahwa penggabungan PMH dengan wanprestasi dalam satu gugatan melanggar tata tertib beracara karena keduanya harus diselesaikan tersendiri.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    M. Yahya Harahap dalam buku Hukum Acara Perdata (hal. 456) mengkomentari putusan tahun 1997 tersebut. Ia berpendapat, dalam putusan tersebut posita gugatan didasarkan atas perjanjian, namun dalam petitum dituntut agar tergugat dinyatakan melakukan PMH. Apabila hal ini dianggap mengandung kontradiksi (obscuur libel) berarti terlalu bersifat formalistis karena jika petitum itu dihubungkan dengan posita, hakim dapat meluruskannya sesuai dengan maksud posita.

     

    Ternyata dalam praktiknya, masalah penggabungan gugatan wanprestasi dan PMH dalam satu gugatan juga dibolehkan. Hal ini dapat dilihat dari yurisprudensi MA dalam Putusan MA No. 2686 K/Pdt/1985 tanggal 29 Januari 1987. Masih dalam buku yang sama, Yahya Harahap menjelaskan bahwa dalam putusan tersebut, meskipun dalil gugatan yang dikemukakan dalam gugatan adalah PMH, sedangkan persitiwa hukum yang sebenarnya adalah wanprestasi, gugatan tidak obscuur libel, karena hakim dapat mempertimbangkan bahwa dalil gugatan itu dianggap wanprestasi. Hal yang serupa juga dapat ditemui dalam Putusan MA No. 886 K/Pdt/2007 tanggal 24 Oktober 2007. Majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan:

     

    “Bahwa sungguhpun dalam gugatan terdapat posita Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum, akan tetapi dengan tegas diuraikan secara terpisah, maka gugatan demikian yang berupa kumulasi obyektif dapat dibenarkan.”

     

    Jadi seperti kami jelaskan sebelumnya, dalam praktik terdapat yurisprudensi yang menyatakan penggabungan PMH dengan wanprestasi dalam satu gugatan adalah melanggar tata tertib beracara karena keduanya harus diselesaikan tersendiri. Namun, ada juga yurisprudensi lain yang membolehkan penggabungan PMH dan wanprestasi dalam satu gugatan.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     
    Dasar hukum:

    1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Staatsbald Nomor 23 Tahun 1847

    2.    Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Herziene Indlandsch Reglement) Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941

     

    Putusan:

    1.    Putusan Mahmakah Agung Nomor 1875 K/Pdt/1984 tanggal 24 April 1986

    2.    Putusan Mahkamah Agung Nomor 2686 K/Pdt/1985 tanggal 29 Januari 1987

    3.    Putusan Mahkamah Agung Nomor 879 K/Pdt/1997 tanggal 29 Januari 2001

    4.    Putusan Mahkamah Agung Nomor 886 K/Pdt/2007 tanggal 24 Oktober 2007

     

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Syarat dan Prosedur Mempekerjakan TKA untuk Sementara

    21 Mar 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!