Apakah prosedur banding dalam perkara wanprestasi (perdata) dibenarkan bahwa penggugat dan tergugat bisa sama-sama mengajukan banding berbarengan setelah pembacaan putusan? Terima kasih, salam.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sebelum menjawab pertanyaan pokok Anda, saya perlu menyampaikan bahwa dalam hukum acara perdata yang berlaku di Indonesia belum ada kodifikasinya (pengkitaban hukum sejenis). Oleh karena itu, peraturan mengenai hukum acara perdata masih tersebar di beberapa peraturan peninggalan kolonial Belanda antara lain Buku IV Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), HIR/RBG, RV, dan lain-lain.
Menjawab pertanyaan pokok Anda, yang menanyakan apakah Pengugat dan Tergugat dalam suatu perkara wanprestasi dapat mengajukan banding secara bersamaan setelah adanya putusan, maka pada prinsipnya banding adalah upaya hukum biasa yang dapat diajukan oleh pihak berperkara yang tidak puas dengan putusan pengadilan negeri untuk mendapatkan pemeriksaan ulang. Dalam hal ini, saya berasumsi bahwa dalam gugatan wanprestasi tersebut, setidak-tidaknya gugatan Penggugat tidak kabulkan seluruhnya atau adanya rekonvensi (gugatan balik) dari Tergugat yang ditolak.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Makna banding sebagai “Pemeriksaan Ulang” atas suatu perkara tersebut mengandung pengertian bahwa pemeriksaan ulangan atas suatu perkara perdata di tingkat banding (Pengadilan Tinggi) tidak berfokus pada siapa yang mengajukan upaya hukum banding tersebut, baik salah satu pihak maupun kedua belah pihak.
Pendapat saya tersebut juga ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. 46 K/SIP/1969, tertanggal 5 Juni 1971, yang pada intinya memiliki kaidah hukum sebagai berikut:
“Apabila dalam hal perkara perdata permohonan banding diajukan oleh lebih dari seorang, sedang permohonan banding hanya dapat dinyatakan diterima untuk seorang pembanding, perkara tetap perlu diperiksa seluruhnya, termasuk kepentingan-kepentingan mereka yang permohonan bandingnya tidak dapat diterima.”
Pada halaman 4, Buku II, Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata khusus, Edisi 2007, secara teknis, suatu Permohonan Banding dapat diajukan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak putusan diucapkan atau diberitahukan kepada pihak yang tidak hadir. Hal mana Panjar Biaya Banding tersebut akan dituangkan dalam SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar), serta dalam 7 (tujuh) hari kalender harus telah disampaikan kepada pihak lawan.
Untuk itu, sebagai referensi untuk Anda, saya akan mengutip pendapat dari Victor Hutabarat, S.H. selaku mantan Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, yang menyatakan bahwa apabila kedua belah pihak yang bersengketa dalam suatu perkara perdata mengajukan banding, maka mengingat upaya hukum Banding adalah suatu peradilan ulangan yang memeriksa keseluruhan berkas perkara, maka banding yang diajukan kedua belah pihak tersebut akan tetap diperiksa ulang oleh Hakim Pengadilan Tinggi dalam satu register/nomor perkara yang sama.
Demikian yang dapat saya sampaikan. Semoga memberikan pencerahan untuk Anda.