Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Dampak Hukum Putusan Hakim yang Berdasarkan Pada Bukti Palsu

Share
copy-paste Share Icon
Perdata

Dampak Hukum Putusan Hakim yang Berdasarkan Pada Bukti Palsu

Dampak Hukum Putusan Hakim yang Berdasarkan Pada Bukti Palsu
Albert Aries, S.H., M.H.Albert Aries & Partners
Albert Aries & Partners
Bacaan 10 Menit
Dampak Hukum Putusan Hakim yang Berdasarkan Pada Bukti Palsu

PERTANYAAN

Bagaimana dampak putusan pengadilan apabila bukti-bukti yang diajukan pemohon merupakan bukti palsu dan dimenangkan oleh hakim?

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Intisari:

    KLINIK TERKAIT

    Perbedaan Sifat Putusan Deklarator, Konstitutif, dan Kondemnator

    Perbedaan Sifat Putusan Deklarator, Konstitutif, dan Kondemnator

     

     

    Dalam hal adanya bukti palsu yang diajukan Penggugat atau Pemohon ternyata dimenangkan oleh hakim, maka dampaknya menurut asas res judicata pro veritate habetur adalah putusan pengadilan tersebut dianggap benar sampai ada putusan pengadilan yang lebih tinggi yang membatalkan putusan tersebut.

     

    1.    Jika Perkara Belum Diputus Pengadilan  

    Apabila pemeriksaan surat tersebut menimbulkan sangkaan bahwa surat ini palsu, maka segala surat-surat yang mengenai hal itu disampaikan kepada Jaksa yang berwajib untuk dilakukan penuntutan secara pidana, yang menurut hukum acara perdata akan menangguhkan proses pemeriksaan atas perkara perdata tersebut sampai adanya putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap.


    2.    Jika Perkara Telah Diputus Pengadilan

    Apabila perkara perdata yang di dalamnya diduga terdapat bukti palsu telah diputus dan bahkan dimenangkan oleh hakim, maka Anda dapat mengajukan laporan polisi atas dasar dugaan tindak pidana pemalsuan surat atau penggunaan surat palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 KUHP.

     

    Nantinya, bukti surat yang sudah dinyatakan palsu oleh putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap dapat menjadi salah satu alasan hukum untuk mengajukan Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa.

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

     

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Ulasan:

     

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Dari pertanyaan yang Anda ajukan, kami berasumsi bahwa yang Anda maksud adalah bukti palsu dalam konteks Hukum Perdata, baik dalam gugatan (contentiosa) yang melibatkan dua pihak berperkara, maupun permohonan yang bersifat sepihak saja (voluntair). Penjelasan lebih lanjut tentang gugatan dan permohonan dapat Anda simak Perbedaan Gugatan dan Permohonan.

     

    Pembuktian dalam Perkara Perdata

    Untuk itu, sebelum menjawab pokok Anda, kami hendak mengutip salah satu asas paling penting dalam pembuktian perkara perdata, yaitu asas actori in cambit probatio yang terdapat dalam Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”):

     

    Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

     

    Asas ini juga dimuat dalam Pasal 163 Herzien Indlandsch Reglement (“HIR”).

     

    Dalam pembuktian suatu perkara perdata, yang dicari dan diwujudkan adalah kebenaran formil (formeel waarheid), artinya kebenaran yang hanya didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan ke pengadilan oleh para pihak tanpa harus disertai adanya keyakinan hakim.

     

    Jenis Alat Bukti dalam Perkara Perdata

    Selanjutnya, kami juga perlu menjelaskan bahwa sesuai ketentuan Pasal 1866 KUH Perdata, dikenal 5 (lima) jenis alat bukti dalam perkara perdata, yaitu:

    1.    Bukti tulisan (surat);

    2.    Bukti dengan saksi-saksi;

    3.    Persangkaan-persangkaan;

    4.    Pengakuan

    5.    Sumpah

     

    Seiring dengan perkembangan teknologi, maka dikenal juga informasi dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya sebagai alat bukti hukum yang sah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 11/2008”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”).

     

    Alat Bukti Palsu

    Menjawab pertanyaan pokok Anda, dalam hal adanya bukti palsu yang diajukan Penggugat atau Pemohon ternyata dimenangkan oleh hakim, maka dampaknya menurut asas res judicata pro veritate habetur adalah putusan pengadilan tersebut dianggap benar sampai ada putusan pengadilan yang lebih tinggi yang membatalkan putusan tersebut. Penjelasan lebih lanjut tentang asas ini dapat Anda simak Arti Res Judicata Pro Veritate Habetur.

     

    Untuk itu, ketentuan hukum mengenai bukti dalam perkara perdata yang diduga palsu, dapat merujuk pada ketentuan Pasal 1872 KUH Perdata yang menyatakan:

     

    Jika suatu akta otentik, yang berupa apa saja, dipersangkakan palsu, maka pelaksanaannya dapat ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan Reglemen Acara Perdata.

     

    1.    Jika Perkara Belum Diputus Pengadilan   

    Jadi, dalam hal surat yang diduga palsu ternyata diajukan sebagai alat bukti dalam suatu perkara perdata yang belum diputus oleh Pengadilan, maka Pasal 138 ayat (7) dan ayat (8) HIR mengatur:

     

    Jika pemeriksaan tentang kebenaran surat yang dimasukkan itu menimbulkan sangkaan bahwa surat itu dipalsukan oleh orang yang masih hidup, maka pengadilan negeri mengirim segala surat itu kepada pegawai yang berkuasa untuk menuntut kejahatan itu.

     

    Perkara yang dimajukan pada pengadilan negeri dan belum diputus itu, dipertangguhkan dahulu, sampai perkara pidana itu diputuskan.

     

    Menurut pasal ini, maka apabila pemeriksaan surat tersebut menimbulkan sangkaan bahwa surat ini palsu, maka segala surat-surat yang mengenai hal itu disampaikan kepada Jaksa, yang berwajib untuk menuntut kejahatan itu.[1]

     

    Oleh karena itu, jika bukti yang diajukan oleh salah satu pihak dalam perkara perdata diduga palsu atau dipalsukan, maka pihak yang merasa dirugikan dapat meminta pengadilan negeri untuk mengirimkan surat yang diduga palsu tersebut untuk dilakukan penuntutan secara pidana, yang menurut hukum acara perdata akan menangguhkan proses pemeriksaan atas perkara perdata tersebut sampai adanya putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap.

     

    2.    Jika Perkara Telah Diputus Pengadilan

    Namun demikian, apabila perkara perdata yang di dalamnya diduga terdapat bukti palsu telah diputus dan bahkan dimenangkan oleh hakim, maka Anda dapat mengajukan laporan polisi atas dasar dugaan tindak pidana pemalsuan surat atau penggunaan surat palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:

     

    (1) Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.

    (2)  Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.

     

    Berdasarkan uraian di atas, maka bukti surat yang sudah dinyatakan palsu oleh putusan Pengadilan Pidana yang berkekuatan hukum tetap merupakan salah satu alasan hukum untuk mengajukan Peninjauan Kembali sebagai upaya hukum luar biasa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi:

     

    Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

    a.   apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;

    b.    ...

    c.    ...

    d.    ...

    e.    ...

    f.     ....

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat dan memberikan pencerahan untuk Anda.

     

    Dasar hukum:

    1.    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

    2.    Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

    3.    Herzien Indlandsch Reglement;

    4.    Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;

    5.   Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

     

     

     



    [1] Penjelasan Pasal 138 HIR

     

    Tags

    pengadilan
    perdata

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Pasal Penipuan Online untuk Menjerat Pelaku

    27 Des 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!