Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Syarat Sah Perjanjian
Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
suatu pokok persoalan tertentu;
suatu sebab yang tidak terlarang.
Syarat yang pertama dan syarat yang kedua disebut sebagai syarat subjektif, karena berkenaan dengan orang-orangnya atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian. Sementara syarat yang ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif, karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.
Tidak dipenuhinya syarat subjektif dan syarat objektif memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Jika syarat objektif tidak terpenuhi, maka sebuah perjanjian batal demi hukum. Artinya sejak semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum pun menjadi gagal. Adapun jika syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, dimana salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.
Lebih lanjut, ketentuan Pasal 1338 KUH Perdata mengatur bahwa:
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Pasal ini membolehkan para pihak untuk mengadakan suatu perjanjian/kontrak yang kemudian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. Atau dalam artian, perjanjian/kontrak tersebut wajib ditaati bagaikan menaati sebuah undang-undang. Akan tetapi perjanjian/kontrak tersebut harus dibuat secara sah. Judul dan isi dari kontrak/perjanjian tersebut juga jangan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Automatic Renewal
Berkaitan dengan pertanyaan Anda perihal menentukan jangka waktu berlakunya suatu perjanjian, KUH Perdata pada dasarnya tidak mengatur hal tersebut. Dengan demikian para pihak diperbolehkan untuk menyepakati jangka waktu berlakunya perjanjian sesuai dengan kebutuhan, yang kemudian dituangkan dengan jelas ke dalam pasal perjanjian.
Selanjutnya mengenai apakah sebuah perjanjian bisnis diperbolehkan mengatur mengenai perpanjangan jangka waktu berlakunya perjanjian secara otomatis (automatic renewal), di mana dalam hal ini adalah untuk lima tahun, hal tersebut diperbolehkan dengan catatan seluruh pihak dalam perjanjian tersebut telah menyepakatinya dan dituangkan dengan jelas ke dalam pasal perjanjian. Dalam praktik, memang ada suatu perjanjian/kontrak yang di dalamnya mengatur mengenai perpanjangan jangka waktu berlakunya perjanjian/kontrak secara otomatis.
Hanya saja timbul pertanyaan, apakah perlu dibuat perjanjian baru yang isinya mengatur secara lengkap dan jelas tanggal berlakunya perpanjangan secara otomatis? Tentunya akan lebih baik jika dibuat perjanjian yang baru. Bisa saja seiring dengan berjalannya waktu, terdapat perubahan kondisi yang memerlukan penyesuaian isi perjanjian, dan dengan demikian mengubah isi (pasal) dalam perjanjian.
Adapun jika tidak terdapat perubahan kondisi sehingga para pihak tidak membuat perjanjian yang baru, maka hal tersebut sah-sah saja. Tetapi perlu dibuat klausul mengenai kapan dan/atau dalam kondisi seperti apa para pihak dapat mengakhiri berlakunya perjanjian. Hal ini diperlukan supaya ada kepastian hukum bagi para pihak perihal berakhirnya perjanjian.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum: