Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Konsep Pencurian Ringan
Sebelum kami menjawab pertanyaan Anda, akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai konsep pencurian ringan.
Pasal 362 KUHP
Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima Tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Pasal 364 KUHP
Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.
Kata-kata "dua ratus puluh lima rupiah" dalam pasal 364, 373, 379, 384, 407 dan pasal 482 KUHP dibaca menjadi Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Dalam kasus pencurian ringan, maka pelaku tidak ditahan dan perkara dilaksanakan melalui acara pemeriksaan cepat sebagaimana dimaksud dalam Bagian Menimbang huruf b PERMA 02/2012, yang berbunyi:
Bahwa apabila nilai uang yang ada dalam KUHP tersebut disesuaikan dengan kondisi saat ini, maka penanganan perkara tindak pidana ringan seperti pencurian ringan, penipuan ringan, penggelapan ringan dan sejenisnya dapat ditangani secara proporsional mengingat ancaman hukuman paling tinggi yang dapat dijatuhkan hanyalah tiga bulan penjara, dan terhadap tersangka atau terdakwa tidak dapat dikenakan penahanan, serta acara pemeriksaan yang digunakan adalah Acara Pemeriksaan Cepat. Selain itu perkara-perkara tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum Kasasi.
Pencurian dalam UU Perkebunan
Setiap Orang secara tidak sah dilarang:
mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan;
mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan;
melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau
memanen dan/atau memungut Hasil Perkebunan.
Pasal 55 huruf d UU Perkebunan, menurut hemat kami, memiliki keserupaan makna dengan tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 KUHP. Sanksi pidana terhadap pelanggaran Pasal 55 huruf d UU Perkebunan kemudian tercantum dalam Pasal 107 UU Perkebunan yang berbunyi:
Setiap Orang secara tidak sah yang:
mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Lahan Perkebunan;
mengerjakan, menggunakan, menduduki, dan/atau menguasai Tanah masyarakat atau Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dengan maksud untuk Usaha Perkebunan;
melakukan penebangan tanaman dalam kawasan Perkebunan; atau
memanen dan/atau memungut Hasil Perkebunan;
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Namun demikian, frasa “setiap orang secara tidak sah” dalam Pasal 55 dan Pasal 107 UU Perkebunan ini dikecualikan bagi masyarakat hukum adat.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-XIII/2015 menyatakan bahwa Pasal 55 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang frasa “setiap orang secara tidak sah” dalam ketentuan dimaksud tidak dimaknai tidak termasuk anggota kesatuan masyarakat hukum adat yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Putusan Mahkamah Nomor 31/PUU-V/2007.
Ketentuan yang Berlaku
Berdasarkan bunyi pasal tersebut, terdapat perbedaan di antara PERMA 02/2012 dan UU Perkebunan mengenai tindak pidana pencurian terhadap perkebunan sawit dan sanksinya. Pada kasus Anda, peraturan mana yang berlaku?
Menurut hemat kami, ketentuan pidana dalam UU Perkebunan-lah yang berlaku dalam kasus tersebut. Hal ini dengan mengingat Pasal 63 ayat (2) KUHP dan Pasal 103 KUHP yang menerangkan bahwa:
Pasal 63 ayat (2) KUHP
Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Pasal 103 KUHP
Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.
Maka dari itu, karena Pasal 107 UU Perkebunan telah mengatur secara khusus mengenai ketentuan pidana terhadap pencurian terhadap hasil perkebunan, maka ketentuan pidana umum dalam Pasal 362 dan Pasal 364 KUHP tidak berlaku terhadap tindak pidana tersebut. Oleh karena ketentuan dalam PERMA 02/2012 mengacu pada ketentuan pidana dalam KUHP, maka ketentuan pencurian ringan dalam Pasal 1 PERMA 02/2012 tidak berlaku bagi pencurian terhadap hasil perkebunan kelapa sawit, karena telah terlebih dahulu diatur oleh aturan pidana yang khusus di luar KUHP dalam Pasal 107 UU Perkebunan.
Tindak Pidana Berlanjut
Dalam pertanyaan, Anda juga menerangkan bahwa tindak pidana pencurian terhadap hasil perkebunan kerap kali dilakukan secara berulang-ulang. Dalam hal ini, Pasal 64 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa:
Jika antara beberapa perbuatan, meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan berlanjut, maka hanya diterapkan satu aturan pidana; jika berbeda-beda, yang diterapkan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 136) menafsirkan Pasal 64 ayat (1) KUHP bahwa dalam hal seseorang melakukan beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran, tetapi ada hubungan antara perbuatan-perbuatan itu sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu perbuatan dilanjutkan, maka hanya satu ketentuan hukum pidana yang diberlakukan; jika berlainan, ketentuan yang memuat hukuman pokok yang terberat yang diterapkan.
Dengan demikian, menurut hemat kami, apabila pelaku melakukan pencurian terhadap hasil perkebunan kelapa sawit secara berulang kali dan belum pernah dijatuhi putusan pidana sebelumnya atas perbuatan-perbuatan tersebut, maka aturan dan sanksi pidana yang berlaku hanya satu terhadap keseluruhan perbuatannya itu.
Sebaliknya, sebagaimana diuraikan Projodikoro pada buku yang sama, jika seseorang sudah dijatuhi hukuman perihal suatu kejahatan, kemudian setelah selesai menjalani hukuman melakukan suatu kejahatan lagi, maka perilaku tersebut dapat disebut sebagai recidivie. Akibatnya, hukuman yang akan dijatuhkan malahan diperberat melebihi hukuman maksimum.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
Referensi:
Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT. ERESCO, 1989.