KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Ketentuan Hibah Harta Bawaan kepada Anak

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Ketentuan Hibah Harta Bawaan kepada Anak

Ketentuan Hibah Harta Bawaan kepada Anak
Sigar Aji Poerana, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Ketentuan Hibah Harta Bawaan kepada Anak

PERTANYAAN

Saya ingin menghibahkan rumah kepada tiga anak saya. Tapi mereka masih belum berusia 17 tahun. Ini harta yang saya dapatkan saat belum menikah. Saat sudah menikah, saya baru balik nama atas nama saya. Apakah harta rumah saya ini nantinya juga akan termasuk harta bersama? Sebab istri saya minta pembagian, padahal saya ingin hanya untuk anak-anak saja.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Rumah yang dibeli sebelum perkawinan dihitung sebagai harta bawaan, sekalipun proses ‘balik nama’ atau pendaftaran tanahnya dilakukan setelah menikah. Pendaftaran tanah tersebut sekadar bersifat administratif. Namun, perjanjian hibah rumah tersebut dari seorang bapak kepada anak yang belum dewasa dapat dibatalkan oleh istrinya, dalam kedudukannya sebagai ibu dari anak-anak tersebut.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Peralihan Kepemilikan Rumah
    Kami asumsikan, yang Anda maksud dengan “balik nama” adalah pendaftaran kembali tanah dengan Anda sebagai pemilik barunya. Rumah yang Anda maksud memang termasuk dalam objek pendaftaran tanah.
     
    Menurut Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”), objek pendaftaran tanah meliputi:
    1. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai;
    2. tanah hak pengelolaan;
    3. tanah wakaf;
    4. hak milik atas satuan rumah susun;
    5. hak tanggungan;
    6. tanah negara.
     
    Pendaftaran tanah sendiri adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.[1]
     
    Pendaftaran tanah bertujuan:[2]
    1. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;
    2. untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar, untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.
     
    Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum, kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah.[3]
     
    Patut diperhatikan bahwa menurut Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Fessy Farizqoh Alwi, peralihan hak atas tanah terjadi bukan ketika tanah didaftarkan, melainkan saat pembuatan Akta Jual Beli. Adapun pendaftaran tanah (balik nama) hanya administrasi.
     
    Hal tersebut sejalan dengan uraian Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997, yang menjelaskan bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang, hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
     
    Pembuatan akta dimaksud dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan dan disaksikan oleh sekurang-kurangnya dua saksi yang memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam perbuatan hukum itu.[4]
     
    Wewenang atas Harta Bawaan
    Maka dari itu, menurut hemat kami, peralihan hak atas rumah Anda terjadi ketika telah dibuatnya Akta Jual Beli rumah. Sehingga meskipun ‘balik nama’ atau pendaftaran tanah atas nama Anda di kantor pertanahan dilakukan setelah menikah, namun rumah tersebut merupakan harta bawaan Anda, sepanjang akta jual beli dibuat sebelum menikah.
     
    Terkait harta bawaan, Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) berbunyi:
     
    1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
    2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
     
    Lebih lanjut, Pasal 36 UU Perkawinan menguraikan bahwa:
     
    1. Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
    2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
     
    Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, penguasaan dan perbuatan hukum terhadap harta bawaan merupakan hak penuh dari suami atau istri tersebut, termasuk untuk mengalihkan harta tersebut tanpa persetujuan pasangan.
     
    Hibah kepada Anak Belum Dewasa
    Terkait hibah rumah Anda, Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) menerangkan bahwa penghibahan adalah suatu persetujuan di mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu.
     
    Oleh karena hibah adalah suatu persetujuan, maka juga harus tunduk pada Pasal 1320 KUH Perdata, yang menguraikan bahwa syarat sahnya perjanjian adalah:
    1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
    2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
    3. suatu pokok persoalan tertentu;
    4. suatu sebab yang tidak terlarang.
     
    Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah anak yang belum dewasa dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan.[5] Sementara dalam artikel Kedudukan Istri dalam Melakukan Perbuatan Hukum, ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata yang sebelumnya menganggap perempuan yang telah kawin tidak cakap hukum, tidak lagi berlaku.
     
    Alinea Pertama Pasal 330 KUH Perdata kemudian menjelaskan bahwa yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun dan tidak kawin sebelumnya. Bila perkawinan dibubarkan sebelum umur 21 tahun, maka mereka tetap berstatus dewasa.
     
    Berdasarkan uraian tersebut, anak-anak Anda yang masih berusia di bawah 17 tahun, karena belum dewasa menurut KUH Perdata, tidak cakap melakukan perjanjian hibah dengan Anda.
     
    Konsekuensi Penerima Hibah yang Tidak Cakap
    Subekti dalam buku Hukum Perjanjian menerangkan bahwa kesepakatan dan kecakapan merupakan syarat subjektif perjanjian. Jika tidak dipenuhi, salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan (hal. 20).
     
    Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Perjanjian yang telah dibuat itu mengikat selama tidak dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan (hal. 20).
     
    Subekti menambahkan bahwa yang dapat meminta pembatalan dalam hal seorang anak belum dewasa adalah anak itu sendiri apabila ia sudah dewasa atau orang tua/walinya (hal. 20). Maka dari itu, sekalipun Anda menghendaki agar istri Anda tidak memiliki hak atas rumah yang dihibahkan tersebut, istri Anda dapat meminta pembatalan perjanjian hibah tersebut sebagai ibu dari anak-anak Anda.
     
    Otoritas orang tua ditegaskan pula dalam Pasal 1685 KUH Perdata, yang menguraikan bahwa:
     
    Hibah kepada anak-anak di bawah umur yang masih berada di bawah kekuasaan orangtua, harus diterima oleh orang yang menjalankan kekuasaan orangtua itu. Hibah kepada anak-anak di bawah umur yang masih di bawah perwalian atau kepada orang yang ada di bawah pengampuan, harus diterima oleh wali atau pengampunya yang telah diberi kuasa oleh Pengadilan Negeri. Jika pengadilan itu memberi kuasa termaksud maka hibah itu tetap sah. meskipun penghibah telah meninggal dunia sebelum terjadi pemberian kuasa itu.
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Catatan Editor: Klinik Hukumonline meminta pendapat Fessy Farizqoh Alwi melalui WhatsApp pada Rabu, 22 Januari 2020, pukul 22.00 WIB.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
     
    Referensi:
    Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa. 2014.
     

    [1] Pasal 1 angka 1 PP 24/1997
    [2] Pasal 3 PP 24/1997
    [3] Pasal 4 ayat (1) PP 24/1997
    [4] Pasal 38 ayat (1) PP 24/1997
    [5] Pasal 1330 KUH Perdata

    Tags

    hukumonline
    pengampuan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Konversi Utang Jadi Setoran Saham, Ini Caranya

    14 Sep 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!