Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Status dan Hak Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Orang Tuanya

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Status dan Hak Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Orang Tuanya

Status dan Hak Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Orang Tuanya
Karimatul Ummah, S.H.,M.HumPSHI Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
PSHI Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Bacaan 10 Menit
Status dan Hak Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Orang Tuanya

PERTANYAAN

Ketika terjadi pembatalan perkawinan antar pasangan Muslim, siapa yang mengasuh anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan itu? Dan apakah anak tersebut punya hubungan kewarisan? Atau anak tersebut punya status anak di luar nikah, sehingga hanya punya hubungan kewarisan dengan ibunya?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pembatalan perkawinan dimungkinkan terjadi manakala ada pelanggaran terhadap syarat-syarat perkawinan. Pembatalan perkawinan bisa berimplikasi pada status perkawinan yang dianggap tidak pernah ada (batal demi hukum) atau batal sejak dibatalkan oleh pengadilan.
     
    Anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan tersebut tetap berkedudukan sebagai anak sah. Dengan demikian, anak tetap menjadi tanggung jawab kedua belah pihak, suami dan istri. Kedua orang tua tetap berkewajiban mendidik dan memelihara anak tersebut berdasarkan kepentingan si anak.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Pembatalan Perkawinan
    Pembatalan perkawinan adalah tindakan putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan itu tidak sah. Akibatnya, perkawinan itu dianggap tidak pernah ada sebagaimana ditegaskan Soedaryo Saimin dalam buku Hukum Orang dan Keluarga (hal. 16).
     
    Pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 22 – Pasal 28 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksanaannya, yakni Pasal 37 dan Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP Perkawinan”).
     
    Pasal 22 UU Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
     
    Pengadilan yang berwenang untuk membatalkan perkawinan adalah pengadilan yang daerah kekuasaannya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal suami istri, tempat tinggal suami atau tempat tinggal istri.[1]
     
    Bagi mereka yang beragama Islam, pembatalan dilakukan di Pengadilan Agama, sedangkan bagi mereka yang beragama non-Islam, pembatalan dilakukan di Pengadilan Negeri.
     
    Kewenangan pembatalan perkawinan ada pada pengadilan tersebut mengingat pembatalan suatu perkawinan dapat membawa akibat yang jauh baik terhadap suami istri maupun terhadap keluarganya, maka ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh instansi lain di luar pengadilan.[2]
     
    Bagi masyarakat Muslim di Indonesia, aturan mengenai pembatalan perkawinan, selain diatur secara umum dalam UU Perkawinan dan perubahannya serta peraturan pelaksanaannya, juga diatur dalam Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
     
    Dalam Pasal 70 – Pasal 76 KHI, batalnya perkawinan merupakan konsekuensi logis atau akibat dari larangan perkawinan.
     
    Mengenai masalah ini, KHI membedakan antara ‘batal demi hukum’ dan ‘dapat dibatalkan’. Batal demi hukum disebabkan karena adanya pelanggaran terhadap larangan perkawinan. Sedangkan dapat dibatalkan terjadi karena pelanggaran terhadap persyaratan tertentu dan hanya menyangkut pihak lain yang dirugikan haknya atau melanggar peraturan yang berlaku.
     
    Perkawinan batal atau batal demi hukum apabila:[3]
    1. suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri sekalipun salah satu dari keempat istrinya dalam iddah talak raj`i;
    2. seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili`annya;
    3. seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba`da al dukhul dengan pria tersebut dan telah habis masa idahnya;
    4. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 UU Perkawinan, yaitu :
    1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
    2. berhubugan darah dalam garis keturunan menyimpang, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
    3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
    4. berhubungan  sesusuan,  yaitu  orang  tua  sesusuan,  anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
    1. istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dan istri atau istri-istrinya.
     
    Selanjutnya dalam KHI ditegaskan pula bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:[4]
    1. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;
    2. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi istri pria lain yang mafqud;
    3. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam idah dengan suami lain;
    4. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
    5. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;
    6. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.
     
    Penegasan lain mengenai alasan pembatalan perkawinan terdapat pula dalam Pasal 72 KHI bahwa:
    1. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum;
    2. Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri;
    3. Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami istri dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
     
    Prosedur Pembatalan Perkawinan
    Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang bertempat di tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan.
     
    Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.[5]
     
    Walaupun terdapat alasan untuk membatalkan perkawinan sebagaimana tersebut di atas, akan tetapi ada batasan mengenai siapa saja yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan.
     
    Adapun yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 73 KHI adalah:
    1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau istri. Misalnya, bapak atau ibu dari suami atau istri, kakek atau nenek dari suami atau istri.
    2. Suami atau istri, artinya bahwa inisiatif permohonan itu dapat timbul dari suami atau istri saja, atau dapat juga dari keduanya secara bersama-sama dapat mengajukan pembatalan perkawinan.
    3. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut undang undang. Pejabat yang ditunjuk ditentukan lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan,[6] namun sampai saat ini urusan tersebut masih dipegang oleh Petugas Pencatat Nikah, Kepala Kantor Urusan Agama, Ketua Pengadilan Agama atau Ketua Pengadilan Negeri.
    4. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67 KHI.
     
    Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa suatu perkawinan dapat dibatalkan karena terdapat 2 alasan yaitu pertama, disebabkan adanya pelanggaran terhadap prosedural perkawinan yang berkaitan dengan tidak terpenuhinya rukun-rukun pernikahan, misalnya wali nikah tidak memenuhi syarat yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan kedua, disebabkan adanya pelanggaran terhadap materi perkawinan, misalnya istri ternyata terikat tali perkawinan dengan orang lain.
     
    Akibat Hukum Pembatalan Perkawinan serta Perlindungan terhadap Hak Anak 
    Dalam Pasal 28 ayat (1) UU Perkawinan disebutkan bahwa akibat hukum batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
     
    Jika akibat dari adanya perkawinan yang dibatalkan berupa batal demi hukum, artinya perkawinan dianggap tidak pernah ada, namun demikian keputusan tersebut tidak berlaku surut terhadap:[7]
    1. perkawinan yang batal karena salah satu suami atau istri murtad;
    2. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Terhadap mereka tidak ada perubahan status, dalam arti ia tetap memiliki bapak dan ibunya walaupun bapak ibunya tersebut dibatalkan perkawinannya. Selanjutnya, mengenai kepada siapa anak-anak itu ikut, hal ini tergantung putusan pengadilan, tetapi biasanya anak yang masih di bawah umur akan ditetapkan mengikuti ibunya;
    3. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan berkekutan hukum yang tetap;
    4. Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.
     
    Kembali ke pertanyaan Anda, dapat ditegaskan bahwa bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan tersebut tetap berkedudukan sebagai anak sah.
     
    Dengan demikian, anak tetap menjadi tanggung jawab kedua belah pihak, suami dan istri. Kedua orang tua tetap berkewajiban mendidik dan memelihara anak tersebut berdasarkan kepentingan si anak.
     
    Terhadap anak perempuan, maka ayah kandung berhak pula menjadi wali nikah. Dalam hal terjadi kewarisan, maka anak masih memiliki hak waris dari kedua orang tuanya, serta memiliki hubungan kekeluargaan pula dari kedua pihak orang tuanya.
     
    Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada anak yang telah dilahirkan dalam suatu perkawinan. Perlindungan anak dimaknai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.[8]
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
     
    Referensi:
    Soedaryo Saimin. Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika, 1992.
     

    [1] Pasal 25 UU Perkawinan
    [2] Penjelasan Pasal 37 PP Perkawinan
    [3] Pasal 70 KHI
    [4] Pasal 71 KHI
    [5] Pasal 74 ayat (2) KHI
    [6] Pasal 16 ayat (2) UU Perkawinan
    [7] Pasal 75 dan Pasal 76 KHI
    [8] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

    Tags

    keluarga dan perkawinan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    TIPS HUKUM

    Ini Cara Mengurus Akta Nikah yang Terlambat

    24 Mar, 2023 Bacaan 10 Menit
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!